Home > EDITOR'S CHOICE > Berebut Hati Melalui Komunikasi Emphatik

Berebut Hati Melalui Komunikasi Emphatik

Makin dekat dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018, dan Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden ( Pemilu Raya) 2019, suasana politik, khususnya melalui komunikasi politik yang mulai dapat disaksikan melalui berbagai media, tampak kian intens, dengan berbagai gaya (style) komunikasi politik yang beranekaragam.

Ada elit politik yang menggunakan gaya santun, emphatik, bahkan sering cenderung merendah, misalnya yang disampaikan Bupati Purwakarta Dedy Mulyadi, ada yang menggunakan gaya confidence (percaya diri), seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil, ada pula yang cenderung merendah dan menghindar selain selalu menyatakan akan menuntaskan tugasnya dengan sebaik-baiknya, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, serta berbagai gaya komunikasi lainnya.

Ada pula, yang mungkin karena posisi politiknya sebagai oposisi, di dalam setiap pernyataan politiknya cenderung selalu mengkritik, serta menentang dan bergaya kurang setuju, bahkan ketika kritiknya tersebut terkait dengan urusan keluarga, misalnya tatkala Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki hajat menikahkan putrinya di Solo. Tak urung kritik yang cenderung waton suloyo (WTS), tersebut berbuah sanggahan, bahkan kecaman di berbagai media, terlebih media sosial.

Bila dicermati, contoh di atas sebenarnya adalah upaya seseorang baik secara pribadi, kelompok bahkan partai politik(parpol) yang menaunginya, agar diingat, selanjutnya masuk di hati rakyat calon pemilihnya, sesuai dengan teori atau pendekatan possitioning.

Namun, seharusnya para elit juga mulai memahami adanya perubahan sikap serta perilaku konsumen, termasuk rakyat sebagai konsumen dalam komunikasi politik, yang saat ini populer dengan istilah “Consumers Insight”. Agak berbeda dengan pssitioning yang bila salah persepsi bisa terjebak pada percieved needs audience ( kebutuhan audience menurut persepsi komunikator), consumers insight lebih menekankan pada actual needs (kebutuhan aktual audience).

Pertanyaannya, masih tepatkan mereka yang meskipun posisinya oposisi atau bukan petahana, selalu menggunakan pendekatan asal beda atau waton suloyo(WTS)?. Tidakkah model komunikasi emphatik lebih tepat digunakan, karena berbagai wilayah serta daerah, bahkan peta nasional di Indonesia itu masih kuat adanya pepatah Jawa “ ngono yo ngono ning ojo ngono?”.

Pengalaman Pahit

Kita tentu masih ingat bagaimana kekalahan matan Gubernur Jateng Bibit Waluyo, yang popularitasnya sangat tinggi saat itu, akhirnya kalah karena mengkritik keras Wali Kota Solo saat dijabat Jokowi kala itu, yang cenderung mulai populer dan dicinta rakyat? Kita tentu juga ingat bagaimana kemenangan Pasangan Jokowi-JK, ketika mampu dikonstrksikan sebagai Calon pasangan Capres-Cawapres yang merakyat.

Kesan komunikasi politik yang rendah hati, emphatik,  serta merakyat seperti yang ditampilkan Presiden Jokowi, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, atau Bupati Purwakarta Dedy Mulyadi, meski sosok terakhir elektabilitasnya dipandang masih kalah dengan pesaingnya berdasarkan survei, namun karena rakyat makin dicerdaskan oleh media, belum tentu bila dicalonkan lagi atau dicalonkan pada posisi yang lain, rakyat tidak memilihnya. Bahkan bisa sebaliknya yang terjadi.

Selain itu, bagi para petahana bila dicalonkan kembali jauh lebih menguntungkan, karena ada teori komunikasi yang mengatakan bahwa “ kinerja, cenderung berkata lebih nyaring, dibanding wacana”.

Di sisi lain, survei yang mengandalkan persepsi masyarakat, sangat rentan untuk berubah, demikian pula dengan ilmu statistik sebagai alat utama survei adalah “ probability science”, yang selalu memperhitungkan adanya standard of eror, karena kemungkinan terjadinya kesalahan atau ketidak tepatan itu ada. Terlebih bila pemetaan samplingnya kurang cermat. Kampiun survei yang ada di Amerika Serikat (AS) pun ternyata bisa salah tatkala Trump berhasil mengalahkan Helary Clinton, dalam pemilihan Presiden di AS.

Melakukan komunikasi politik secara kontinyu dan terus menerus melalui media massa bagi seorang elit politik, terlebih bila memiliki peluang menduduki jabatan ekskutif memang perlu. Setidaknya, melalui komunikasi politik secara intens tersebut rakyat akan mengingat dan mencatatnya.

Namun, yang perlu diingat mengkritik lawan politiknya secara membabi buta tidaklah elok, terlebih bila data yang digunakan kurang akurat.  Dalam bahasa komunikasi, kecenderungan terjadinya efek bumerang dalam komunikasi cukup tinggi.

Tampaknya model komunikasi berdasarkan falsafah Jawa  “ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” yang sejatinya adalah komunikasi emphatik, sangatlah tepat, apik, serta menarik sekaligus tedhuh bila saling dilakukan.

* Artikel ini telah dibaca 151 kali.
Gunawan Witjaksana
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. Pengamat komunikasi dan media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *