Oleh : Gunoto Sapari
Hari sudah sore ketika kapal memasuki Port Jakarta. Bayang-bayang loji Inggris memanjang, separuhnya jatuh di tengah Sungai Ciliwung. Dinding kastil yang menghadap ke Barat disepuh sinar kemerahan. Sinyo-sinyo kecil, anak para pembesar kompeni yang tinggal di dalam kastil, menonton datangnya kapal yang ditumpangi Van Rijn dari waterport.
Dari tingkat atas generaalhuis, tempat tinggal Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieter Zoon Coen menyaksikan utusannya yang disuruh menghadap Sultan Mataram telah datang. Dia berharap agar Van Rijn, orang tua yang wataknya memenuhi selera orang Jawa karena kalem dan arifnya, dapat menyelesaikan persoalan yang muncul akibat pembuatan loji di Jepara.
Malam hari, di dalam generaalhuis, seperti malam-malam biasanya, menyala berpuluh lampu. Di dinding ruangan utama gedung itu tergantung lambang VOC berupa bendera bulat dengan dua gambar perahu layar. Di dinding lain tergantung sejumlah lukisan yang ditata begitu apik. Dua patung gaya renaisans menghiasi sudut ruangan.
Van Rijn pun memaparkan hasil kunjungannya ke Mataram. Dia melaporkan bahwa Raja Mataram telah berganti. Panembahan Mas Jolang telah wafat. Yang menduduki singgasana adalah putranya, Raden Mas Rangsang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma. Akan tetapi, Sultan Agung agaknya memiliki watak keras. Arah kebijakannya masih merupakan teka-teki.
“Tidak ada penjelasan resmi, apakah hubungan dengan VOC akan dilanjutkan. Sultan Agung bahkan tidak mau menerima utusan kompeni. Yang mengherankan, menurut suara-suara rakyat kecil di Jepara, konon Sutan telah mengangkat Bouraxa menjadi Bupati Kendal. Entah Bouraxa mana yang diangkat menjadi bupati? Apakah Bouraxa yang bajak laut itu ataukah Bouraxa lain. Ini tentu saja mengherankan. Mataram adalah sebuah negara yang memelihara tradisi Islam. Tradisi yang hakikatnya sama dengan tradisi Kristen, di mana orang selalu memelihara kebenaran dan mengutuk kejahatan. Oleh karena itu menjadi tanda tanya besar, mengapa Sultan Agung mengangkat seorang bajak laut menjadi bupati?”
“Bpuraxa?”, Coen mencoba mengingat-ingat. “Karta, panggil Appolonius Schatte ke mari.”
Karta yang duduk bersila di lantai bangkit memanggil Appolonius. Appolonius tinggal di salah satu rumah di dalam lingkungan tembok kastil. Coen mengambil peta dan menggelarnya di atas meja. Dia menanyakan tempat yang bernama Kendal.
“Saya kira Kendal hanya sebuah daerah kecil yang sama sekali tidak mempunyai arti,” celetuk Pieter Both. “Saya sudah mencari di peta. Nama kota itu tidak ada.”
“Mungkinkan daerah itu tempat persembunyian bajak laut? Mungkin Sultan berusaha menjinakkan bajak laut. Semua bajak laut mungkin di lokalisasikan di daerah Kendal dan dikendalikan oleh pemimpinnya yang bernama Bouraxa itu. Ah, kalau begitu Sultan cukup pintar. Dia mengamankan sebuah daerah pesisir dengan memberi wilayah Kendal kepada para pembajak. Hmmm, tetapi mungkin sebutan itu keliru. Tegal mungkin yang dimaksud. Beberapa kali kapal kompeni dicegat oleh bajak laut bersenjata meriam di dekat Tegal,” kata Coen. Ia ingin keterangan yang lebih jelas dari Van Rijn.
“Hal itu sudah saya tanyakan kepada para juru bahasa. Apakah orang pribumi yang menyebut Kendal itu tidak salah? Apakah yang dimaksud bukan Tegal? Tetapi jawaban yang saya peroleh tegas bahwa Kendal bukanlah Tegal. Kendal merupakan pelabuhan. Kendal ada sendiri. Tegal pun ada sendiri,” ujar Van Rijn sambil memperhatikan jari-jari Coen yang masih sibuk mencari-cari nama Kendal di peta.
Budaya Jawa
Akan tetapi, setelah pencarian nama Kendal di peta itu sia-sia, kertas pun digulung.
“Saya kira seluruh pantai Jawa sudah dikuasai bajak laut yang bernama Bouraxa. Appolonius sendiri kapalnya dihantam meriam pembajak dekat Madura. Namun saya pikir, kita tidak perlu cemas. Bukankah Sultan Agung tidak mencabut perjanjian yang telah dibuat VOC semasa pemerintahan Mas Jolang? Saya kira Bouraxa, kalau memang benar yang ditunjuk menjadi Bupati Kendal adalah Bouraxa yang bajak laut itu, biar saja. Dia diberi kekuasan di daerah kecil yang sama sekali tidak memiliki arti dalam perdagangan beras,” tandas Coen seraya mengajak Van Rijn dan Pieter Both duduk di kursi yang lain.
Appolonius Schatte memberikan salam. Dia langsung duduk di kursi. Pieter Both menuangkan anggur ke gelas kosong yang ada di meja itu.
“Raja yang ini rupanya tinggi hati. Mungkin dia tidak mau menerima utusan kompeni karena VOC selalu mengirim utusan. Untuk menyenangkan raja sebaiknya gubernur sendiri yang datang ke Mataram,” ujar Van Rijn. Namun kata-kata Van Rijn ini tidak ditanggapi oleh Pieter Coen. Dia beralih bicara dengan Appolonius.
“Kamu mungkin tahu banyak cerita tentang Bouraxa yang pernah menenggelamkan kapalmu itu, Appolonius.”
“Sejauh yang saya dengar Bouraxa orang terkenal dan populer di pantai utara Jawa. Dia adalah bajak laut yang melindungi perahu pribumi dan membajak kapal-kapal orang kulit putih. Menurut cerita orang pesisr, dia sangat sakti.”
“Alasan apa yang mendorong Sultan Agung mengangkat Bouraxa menjadi Bupati Kendal? Apakah karena kekebalannya? Popularitasnya? Atau karena berani melawan orang kulit putih?,” tanya Coen.
Akan tetapi, pertanyaan Coen itu tidak terjawab. Coen pun mengangkat gelas dan minum bersama. Anggur itu dibawa kapal yang beberapa hari lalu datang dari Belanda.
“Saya akan datang ke Mataram. Kamu ikut saya, Appolonius,” kata Coen tiba-tiba.
“Maaf, saya masih ingat apa yang dikatakan Patih Singaranu. Dia menginginkan agar kompeni menjalin hubungan baik dengan penguasa dan rakyat Jepara. Saya kira sebelum masuk ke Mataram, gubernur perlu juga menemui penguasa Jepara. Mungkin dengan jalan begitu kompeni akan menemukan jalan bagaimana cara menjalin hubungan baik dengan masyarakat Jepara. Betul begitu kan, Karta?”, Both menoleh ke arah Karta yang duduk bersila di lantai.
Karta hanya meringis, menunjukkan tawa. Sebaris gigi yang tidak termasuk indah terlihat. Karta sebenarnya mau berkata banyak tentang bagaimana menghadapi orang Jawa. Budaya Jawa sangat lain dengan budaya Barat. Masyarakat Jawa terdiri dari beberapa lapis. Ada yang namanya orang pidak pedaraan, yakni orang dari kalangan rendah. Orang tingkat bawah jika berhadapan dengan orang tingkat di atasnya harus berlaku sopan. Misalnya, kalau bicara tidak boleh menunjukkan sesuatu dengan mengacungkan jari telunjuk. Dia harus menunjukkan sesuatu dengan ibu jari dan dengan badan sedikit membungkuk. Jika berdiri biasa, tangannya harus ngapurancang, yaitu tangan dibiarkan terjulur di depan badan. Ujung-ujung tangan yang bertemu harus berpegangan di bawah perut.
Selain itu, orang dari tingkat bawah harus bicara memakai krama madya jika menghadapi sesamanya. Kecuali kalau sudah kenal betul baru boleh memakai bahasa ngoko. Jika yang dihadapi orang di tingkat atasnya harus menggunakan krama inggil. Orang yang tergolong priyayi, jika bercakap dengan sesama priyayi dan sudah akrab biasa menggunakan bahasa ngoko andhap antya basa. Akan tetapi, semua itu hanya aturan kesopanan. Aturan itu bukan berarti orang yang ada di tingkat atas boleh berbuat semau-maunya kepada orang yang berada di tingkat bawah. Jika orang yang berada di tingkat atas memakai bahasa kasar, maka orang yang berada di tingkat bawahnya pun hilang rasa penghargaan kepadanya. Priyayi bicaranya halus dan kehalusannya menjadi teladan bagi orang tingkat bawahnya.
Namun, dalam budaya Jawa, bahasa kadang berbeda dengan makna yang sebenarnya. Kadang ada jawaban “inggih” atau “ya”, tetapi maknanya justru “tidak”. “Mari makan,” ajakan ini biasa diucapkan kepada tamu yang datang persis tengah hari, yaitu waktunya orang makan siang. Jawaban “ya”, bukan berarti dia setuju diajak makan. Jawaban “ya” bisa berarti hanya bermaksud menyenangkan orang yang memberi tawaran. Dia sendiri merasa tidak pantas kalau menerima ajakan makan itu sebenarnya. “Sudah makan?” “Sampun. Sudah,” jawab orang Jawa. Padahal dia sesungguhnya belum makan. Akan tetapi, seperti itulah adat istiadat orang Jawa.
Bagi orang Jawa, yang penting adalah angon ulat, yaitu melihat raut muka orang yang diajak bicara. Senang atau tidak kepada lawan bicaranya bisa dilihat dari raut muka.
Namun, orang Jawa juga memiliki hubungan dengan makhluk yang tidak kelihatan. Menurut pandangan kejawen, bukan hanya benda hidup saja yang memiliki ruh, benda mati juga memiliki ruh. Keris, tombak, pohon besar, mata air, sungai, laut, desa, menurut kepercayaan orang Jawa, ada yang menjaga, yaitu ruh halus.
Coen masih memeriksa peta. Diamatinya dengan cermat peta itu. Coen ingin menjalin hubungan dengan raja Jawa. Raja yang bertahta di Kerajaan Mataram. Dia memeriksa pelabuhan-pelabuhan yang ada di pesisir utara Jawa. Ketika matanya sampai di kota pesisir bernama Jepara Coen berhenti. Dia melihat tempat itu dengan teliti. Orang Belanda yang akan menghadap Raja Mataram menurunkan jangkar di depan Pelabuhan Jepara. Dari Jepara harus menyeberang melalui selat sempit untuk mencapai daratan Pulau Jawa. Dari sana perjalanan ke Mataram bisa ditempuh dengan berkuda.
“Apakah benar raja itu tidak dipilih rakyat, tetapi oleh kekuasaan yang tak terlihat? Saya makin tidak mengerti pandangan orang Jawa tentang kekuasaan. Orang Barat memandang kekuasaan abstrak, tetapi orang Jawa menganggap kekuasaan itu justru nyata. Seorang raja katanya mendapat pengesahan dari alam halus untuk menduduki singgasananya. Dia konon mendapat pulung. Siapa yang tidak menerima pulung dia tidak akan kuat duduk di singgasana. Benar begitu, Karta?”, kata Coen seraya menoleh ke Karta.
“Benar, tuan. Seorang raja harus sanggup duduk di atas singgasana kerajaan. Orang biasa tidak akan mampu duduk di singgasana itu. Orang biasa bisa njungkel kalau berani duduk di atsnya. Oleh karena itu, untuk mendekati singgasana itu para sentana harus berjalan jongkok dan menyembah. Meskipun raja belum hadir.”
“Kelihatannya banyak sekali benda-benda magis yang mengelilingi seorang raja. Singgasana, tombak, payung kebesaran, ya… mungkin di dalam tubuhnya sendiri bersemayam kesaktian. Itu mungkin yang membuat seorang raja sangat dihormati rakyatnya. Biarpun raja memerintah secara absolut, rakyat tidak akan menentang. Padahal orang Barat tahu bahwa tirani sangat dibenci. Bangsa Scot bahkan mengguriskan dalam undang-undangnya bahwa siapa yang memerintah sebagai seorang tiran akan dijatuhi hukuman bunuh. Namun rakyat Jawa ikut saja kemauan rajanya.”
Kata-kata Coen segera disahut oleh Both. Pieter Both seakan telah mengetahui permasalahan yang dibicarakan.
“Budaya Jawa memiliki komitmen tinggi terhadap keadilan,” ujar Both. “Raja dianggap sebagai sumber keadilan. Siapa pun yang melaksanakan kekuasaan raja dianggap melaksanakan keadilan. Raja pasti berbuat adil. Raja Jawa selain seorang politikus juga seorang ulama. Seorang pendeta yang tahu sebelum diberi tahu. Bahkan tahu sebelum peristiwanya terjadi. Keinginan rakyat tersalur dari pengetahuan yang dibisikkan oleh alam halus. Setiap mimpi, gejala alam, kejadian, baik yang ada di luar maupun di luar diri manusia, adalah pertanda yang diberikan oleh dunia halus. Dari hal-hal itulah raja mengetahui berbagai peristiwa yang ada di negerinya.”
Coen mendengar kata-kata Both dengan penuh perhatian.
“Mungkin pandangan itu sama dengan pandangan Marcus Aurelius di awal Abad Pertengahan,” katanya.
Tukar pendapat itu tidak diperpanjang. Coen meminta kesediaan Appolonius Schatte untuk ikut ke Mataram. Coen sendiri akan menemui Sultan Agung, Raja Mataram yang baru.
Kabupaten Kendal batasnya dimulai dari sebelah timur Pekalongan, membentang sampai Pati. Memang, Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara, dulu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kendal. Di Pelabuhan Jepara ditempatkan kapal-kapal meram dari Angkatan Laut Mataram. Jepara adalah daerah penting bagi tamu-tamu Kerajaan Mataram yang akan menghadap Sultan Agung. Bouraxa yang disebut-sebut oleh Coen, Both, dan Appolonius itu ternyata tak lain adalah Baureksa. Baureksa diberi wewenang untuk mengizinkan atau menolak tamu yang akan menghadap Sultan Agung.
Peta
Pilihan Sultan Agung yang jatuh kepada Baureksa sebagai Bupati Kendal boleh dibilang sangat tepat. Baureksa bukanlah anak kemarin sore. Ia sangat berpengalaman dalam pelayaran dan kemiliteran. Baureksa pernah lama menjadi awak kapal Portugis. Kapal yang lebih baik peralatannya katimbang kapal-kapal Mataram. Baureksa sendiri dapat membaca peta. Tahu garis bujur dan garis lintang yang dilalui kapal-kapal bila berlayar di laut. Bukan seperti nelayan pribumi yang tidak tahu-menahu soal peta. Mereka hanya tahu soal tanda-tanda alam, seperti gunung-gunung yang ada di darat, atau matahari, atau bintang-bintang dan bulan bila malam tiba.
“Kompeni akan membuat loji di Jepara. Saya heran, mengapa sinuwun membuka perdagangan beras dengan kompeni,” kata Baureksa sambil melilitkan kain ke tubuhnya. Dia telah mengenakan baju dalam. Rambutnya sudah disisir dan digelung kecil.
“Sudah tahu kalau saya ini sangat benci kepada kompeni, lha kok diangkat jadi bupati. Malah diberi wewenang menguasai Jepara, pelabuhan yang oleh sinuwun diizinkan untuk dagang beras,” gerutu Baureksa.
Srini tersenyum mendengar gerutuan Baureksa. Ia berdiri membantu melilitkan stagen ke pinggang Baureksa.
“Kakang Baureksa tak usah menyesal,” katanya.
“Apa saya ini mau dijadikan jangkrik. Mungkin kalau kompeni macam-macam saya akan dikileni, biar saya bertarung melawan kompeni ya. Tetapi buat apa saya menunggu dikileni. Sinuwun pasti kecele kalau jangkriknya bertarung sendiri di luar sepengetahuan beliau,” Baureksa tertawa.
“Srini tidak rela kalau kakang dianggap jangkrik. Kakang manusia. Manusia yang sangat saya cintai,” kata Srini seraya menyelipkan ujung stagen.
“Kakang sangat gagah kalau mengenakan pakaian seperti ini. Andaikata pakdhe dan mbokdhe masih di rumah ini tentu mereka akan bangga. Kakang telah menjadi satria seperti yang mereka harapkan. Satria yang berpakaian bagus dan dihormati,” ujar Srini lagi sambil menepuk-nepuk stagen yang habis dililitkan ke tubuh Baureksa berkeliling.
“Lama-lama saya menyadari jalan yang ditempuh oleh bapak dan simbok. Mereka sudah merasa tua. Mereka memang lebih baik melupakan soal-soal duniawi, agar pikiran mereka bisa wening, bisa eling pada jalan yang akan ditempuh menuju akhirat,” kata Baureksa seraya mengenakan baju. Lengan baju itu memang terlalu panjang sehingga harus digulung. Srini pun menggulungnya sampai di batas atas siku.
“Kalau saya telah melahirkan akan melihat pertapaan mbokdhe dan pakdhe. Sundana akan saya ajak agar dia tahu siapa embah-nya.”
Srini selesai menggulung lengan baju Baureksa dengan rapi. Srini agak mundur, melihat kepantasan pakaian yang dikenakan Baureksa. Blangkonnya agaknya kurang serasi. Srini pun membenahinya.
“Kakang kan juga utang budi pada perempuan Portugis Isabella itu. Kakang pernah nyekar ke makamnya?”
“Belum.”
“Kakang jangan lupa. Kalau ke Jepara jangan lupa nyekar ke makam Isabella. Biar ruhnya ikut mendoakan kakang,” kata Srini seraya jongkok di depan Baureksa. Tangannya usil pura-pura memperbaiki wiron kain. Kain itu sebagian dilipat dan sebagian dijulurkan. Celana yang dipakai Baureksa menjulur sampai di bawah lutut.
Baureksa merasa sangat sayang kepada istrinya. Kandungan Srini telah besar. Srini pun dibimbing diajak duduk. Perutnya dielus-elus.
“Saya cuma pergi sebentar. Saya akan menunggui kamu babaran. Kira-kira bayi ini perempuan apa laki-laki?”
“Kakinya kadang menendang-nendang di sebelah kanan,” Srini menunjukkan bagian kanan perutnya.
“Itu tandanya laki-laki.”
“Kalau laki-laki kakang yang harus memberi nama. Namanya siapa ya, kakang?”
“Karena kakaknya bernama Sundana, bagaimana kalau adiknya diberi nama Suwandana?”
“Itu nama yang bagus. Kalau sudah dua, cukup ya, kakang? Jangan lagi…”.
Baureksa tersenyum dan mengangguk. Srini pun ikut tersenyum senang. Baureksa mencubit hidung Srini. Srini sangat berharap Baureksa menunggui anak kedua mereka lahir. Apalagi saat kelahiran Sundana, Baureksa tidak sempat menunggui karena ada tugas dari kerajaan.
pf, Bapak Gunoto Sapari