Coen termangu-mangu di ruang kerjanya. Matahari siang mencapai titik kulminasinya. Ia berpikir keras. Ia harus mencari lawan tanding untuk menghadapi Baureksa. Tiba-tiba dia ingat Speelman. Seorang Belanda totok yang cepat naik darah. Kalangan kompeni tidak ada yang berani menegur Speelman. Bila masuk stadhuis dia memakai sepatu berburu. Dia hanya mau membuka topi jika bertemu Coen. Kepada siapa pun dia tidak mau menghormat.
Ia selalu menuntun anjingnya yang tinggi besar. Anjing itu diberi nama Antonio. Jika orang-orang memanggil nama anjingnya, Antonio van Diemen, pembantu dekat Coen, sering tersinggung. Akan tetapi, Speelman punya alasan mapan. Dia menamakan anjing itu sesuai dengan nama laki-laki Portugis. Nama laki-laki Portugis selalu berakhiran “o”, sedangkan nama perempuannya berakhiran “a”. Antonio adalah laki-laki Portugis yang bersahabat dengan dirinya. Jadi tidak ada alasan bahwa nama itu ada hubungannya dengan nama orang Belanda. Nama itu pun tidak untuk menimbulkan ejekan.
Speelman pernah menjadi anak buah kapal. Akan tetapi, setelah beberapa berlayar, dia seperti orang kerasukan. Di matanya kawan-kawan para pelaut di kapal tak memiliki pantat. Speelman tentu saja menjadi ketakutan. Dia memprotes kepada nahkoda. Dia tidak mau lagi bekerja di kapal. Dia ingin bekerja di darat saja. Karena Speelman sudah dianggap gila, mau berbuat sesukanya sendiri, maka di darat ia dibiarkan. Tidak diberi pekerjaan. Namun, ternyata dia punya inisiatif. Tiap hari dia berjalan menjelajahi jalanan yang ada di Batavia. Saban hari dia pasti menyusuri Prinsenstraat mulai dari lapangan kastil sampai benteng Hollandia. Kadang dia juga masuk ke belokan jalan-jalan kecil cabang dari Prinsentraat.
Banyak bangunan yang belum selesai dibuat di Batavia. Para pekerja dan buruh bangunan paling takut jika melihat Speelman. Dia suka main tangan. Belum puas hatinya kalau dalam sehari dia tidak menampar orang. Dia merasa terhina kalau orang yang dipukul tidak terjatuh. Dia suka mencari-cari kesalahan para pekerja pribumi. Orang pribumi dianggapnya pemalas. Orang pribumi dinilai kalau bekerja suka ogah-ogahan. Oleh karena itu, siapa saja yang konangan melakukan kesalahan kecil saja akan kena hajar.
Batavia seakan kota milik Speelman seorang. Speelman paling marah kalau ada kotoran di jalan. Apakah kotoran itu berupa daun kering yang jatuh atau bungkus nasi yang dibuang para pekerja begitu saja di jalan. Parit-parit juga harus bersih. Tidak boleh ada kotoran yang terapung di parit. Untuk mengawasi Batavia yang luas itu Speelman minta kuda. Dengan kuda tunggang yang besar dan gagah, daerah yang diawasi Speelman pun makin luas.
Coen sangat terkesan pada orang yang bertubuh tinggi besar itu. Dia merupakan lawan yang tepat bagi Baureksa. Tinggi Baureksa paling sepundak Speelman. Semoga saja Baureksa takut kepada Speelman. Kalau mau diadu kekasarannya, Speelman memiliki watak lebih kasar katimbang Baureksa. Speelman tidak takut kepada siapa pun juga. Jika Speelman sudah bertengkar, tidak ada orang yang bisa mengalahkan. Speelman orang yang tepat untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Loji Jepara.
Coen mulai menduga-duga. Pengangkatan Baureksa sebagai bupati pesisir mungkin dimaksudkan untuk menciptakan kerugian bagi VOC. Kalau keinginan Baureksa dituruti, di mana kompeni harus membuat loji kecil dari bambu, kompeni bukan saja menderita kerugian material tetapi juga moral. Dengan loji kecil dari bambu, jelas keamanan timbunan beras tidak terjamin. Beras akan rusak terkena hujan atau perubahan cuaca jika ditimbun di tempat tidak terlindung. Siasat ini jelas merupakan siasat Baureksa untuk menghancurkan kompeni. Dipandang dari segi moral, jika kehendak Baureksa dituruti berarti kompeni telah tunduk kepada kemauan orang pribumi — orang yang derajatnya lebih rendah katimbang orang kulit putih.
Pelajari Sastra
Karena itulah, maka Coen memberi perintah yang tidak sesuai kesepakatan dengan Baureksa. Speelman diminta membangun loji dari kayu yang cukup besar untuk menimbun beras, perkantoran, dan tempat tinggal orang-orang Belanda. Modal untuk membeli beras diberikan cukup banyak kepada Speelman. Jika ada orang pribumi tidak mau menjual beras, kalau perlu diberi kenaikan harga. Biar para pedagang pribumi gulung tikar. Pokoknya kompeni harus sanggup mempermainkan harga beras.
Baureksa sendiri merasa berada di pihak yang lemah. Persetujuan dagang beras dengan kompeni telah disetujui kraton. Kompeni sudah diberi izin membikin loji. Baureksa hanya bisa menggagalkan persetujuan itu dengan cara membuat ketentuan yang tidak masuk akal. Dia sudah bersikeras untuk mengizinkan kompeni membangun loji kecil dari bambu. Loji bambu kecil itu tentu saja tidak akan bisa difungsikan. Tidak ada tempat untuk tidur orang Belanda. Tidak ada pula tempat untuk menimbun beras.
Itu pikiran Baureksa pada mulanya. Akan tetapi, kalau kapal kompeni berlabuh lama bagaimana? Kompeni dari kapal langsung membeli beras dari pedagang yang membawa perahu? Tentu saja rintangan yang dibikin Baureksa tidak ada artinya. Dia merasa kalah. Dia hanya bisa bergurau dengan anaknya Sundana atau menggendong si kecil Suwandana di rumah dinas Bupati Kendal di Kaliwungu. Ibukota Kendal memang saat itu di Kaliwungu.
Hubungan Mataram dengan Kompeni seakan merupakan kebutuhan yang tak dapat ditolak. Hadirnya bangsa kulit putih ke India Timur telah menjadi kenyataan. Perjuangannya melawan orang kulit putih telah kandas. Dia sendiri sangsi, apakah kebanyakan orang kulit putih sesungguhnya memang berhati baik? Yang jahat hanya satu dua orang? Dia tiba-tiba ingat Isabella, gadis Portugis yang cantik dan baik hati itu. Mungkinkah kebanyakan orang kulit putih seperti Isabella? Mau menghargai orang pribumi? Bahkan pernah tercetus keinginannya untuk hidup bersama orang pribumi di Kaliwungu?
Mungkin sikap yang paling baik adalah sikap yang ditunjukkan oleh sinuwun. Sinuwun tidak menunjukkan kebencian kepada orang kulit putih. Beliau bahkan menjalin hubungan dagang dengan mereka. Namun, di balik itu sinuwun tetap gigih mempertahankan budaya Jawa. Beliau ingin mengajarkan budaya Jawa melalui karangannya Sastra Gendhing.Beliau menganjurkan agar para sentana mempelajari sastra Jawa kuna atau kawi. Bukanlah trah Mataram kalau tidak mengerti sastra Jawa kawi.
Melalui sastra beliau memaparkan budaya Jawa. Mungkin sikap ini yang baik. Sikap untuk mempertahankan budaya Jawa dari pengaruh budaya asing. Orang Jawa akan hilang Jawa-nya kalau hilang tapa-nya. Padahal budaya Barat tidak mengenal tapa. Apakah sinuwun sudah memperhitungkan bahwa orang Jawa bakal lupa pada budaya penyucian ruh jika sudah mengenal budaya Barat? Susahnya budaya tapa itu lebih banyak diajarkan melalui laku. Bukan melalui kata-kata. Budaya Jawa sulit dipelajari dengan cara membaca buku.
Baureksa mulai meragukan sikapnya sendiri. Dia melongok ke luar lewat jendela. Melihat halaman rumah dinasnya yang gilar-gilar. Setelah pohon soka, sawo, dan kemuning ditebang, ia melihat pemandangannya nampak lain. Srini katanya sangat menyesal melihat pohon soka itu ditebang. Dia akan mengenang masa kecilnya bila melihat tumbuhan soka yang ada di depan pintu rumah. Pohon soka itu merupakan tempat persembunyiannya waktu main jethungan dengan kakaknya waktu kecil dulu saat terang bulan purnama. Ditebangnya pohon soka itu membuatnya dia kehilangan kenangan. Baureksa menuntun Sundana, diajak jalan-jalan. Jalan di depan rumah sudah diuruk kricak.
“Kapan bapak mengajak kita ke Singorojo ke tempatnya simbah?” tanya Sundana. “Dulu katanya kalau Sundana sudah besar mau diajak ke rumah simbah? Sundana sudah besar kan sekarang?”
“Besok kalau kalau adikmu Suwandana sudah besar ya? Kalau Sundana ikut menengok simbah, ibu juga mau ikut. Kalau ibu ikut berarti Suwandana juga ikut. Singorojo kan jauh. Harus melalui hutan lagi.”
“Ah, kalau Sundana sudah masuk pondok pesantren nanti tidak jadi lagi. Mengapa ya kok tidak simbah saja datang ke Kaliwungu?”
“Simbah kan sudah tua. Kalau berjalan jauh, melalui hutan lagi, simbah susah, tidak kuat lagi.”
“Rumah simbah dengan rumah Sundana besar mana?”
“Ya, besar rumah Sundana. Rumah simbah hanya gubuk. Kecil. Untuk tidur Sundana dan Suwandana saja pasti sesak.”
“Oh ya, bapak. Kalau begitu kasihan simbah…” habis mengucapkan kata-kata itu Sundana tidak meneruskan bicaranya.
Di jalan depan rumah Baureksa bertemu dengan Welang. Welang telah mendengar cerita tentang keadaan Jepara. Welang merasakan bahwa perjuangan melawan Belanda mulai berubah coraknya. Dulu Welang pernah membayangkan, kalau meriam dari benteng Jepara telah direbut, tiap berpapasan dengan orang kulit putih pasti akan terjadi tembak-menembak. Namun, setelah Baureksa diangkat menjadi Bupati Kendal, yang terjadi ternyata lain. Pertemuan Baureksa dengan Coen ternyata berbeda jauh dengan ketika bersua dengan Alfredo. Ketika bertemu dengan Alfredo, penyerangan langsung terjadi dan semua meriam dirampas. Akan tetapi, pertemuan Baureksa dengan Coen hal itu. Meskipun mereka sempat bertengkar, namun tidak terjadi saling tembak.
Tidak tepati janji
“Dulu kita tidak pernah membayangkan kalau akan terjadi keadaan seperti ini. Kita seakan dipaksa untuk bersikap lemah lembut kepada orang kulit putih. Kita sendiri mungkin tidak tahu, apakah pembalasan yang akan dilancarkan kepada orang kulit putih cukup berhenti sampai sekian saja. Soalnya setelah saya mengurusi kabupaten malah banyak direpotkan pekerjaan rutin. Ada penyediaan tanah untuk bengkok pamong desa, penyediaan tanah untuk wakaf masjid dan pondok pesantren, tanah untuk makam, serta pengenaan palagara untuk sawah olahan. Apalagi sejak zaman Majapahit Protomulyo di kawasan Kaliwungu memang telah menjadi tanah perdikan,” kata Baureksa seperti mengeluh kepada Welang.
“Saya sendiri mulai berpikir, apakah watak orang Barat telah berubah?” ujar Baureksa lagi.
Ia tersenyum ketika melihat Sundana mengejar burung kecil yang hinggap di ranting pohon tepi jalan. Sundana menyangka burung itu tidak bisa terbang. Ketika burung itu ternyata mengepakkan sayap terbang tinggi, Sundana nampak kecewa. Welang ikut tersenyum melihat ulah Sundana.
“Orang-orang Portugis kelihatannya sudah tidak ada. Orang-orang yang dulu suka menyiksa para pelaut pribumi kini tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Akan tetapi, kompeni juga melakukan kesalahan. Batavia menjadi kacau karena kompeni menghasut orang-orang pribumi untuk menjadi maling dan penjambret.”
“Kita sudah kehilangan pegangan. Seakan kita hanya mencari-cari kesalahan kalau kita mau memusuhi orang Barat,” kata Welang menunjukkan keputusasaan.
“Kita akhirnya menjadi pembohong. Seakan ada setan yang membujuk saya ketika menceritakan kejahatan orang kulit putih. Atau memang saya benar-benar tolol karena menyamaratakan semua orang kulit putih jahat? Oh, kalau seperti itu masalahnya, saya berarti berdosa,” Baureksa benci kalau ingat janjinya sendiri.
Baureksa sebenarnya ingin benar membalas kekejaman orang-orang Belanda dan Portugis. Akan tetapi, tahu-tahu kompeni kini harus dihadapi dengan sikap yang lain. Dia harus menyediakan lahan untuk pembuatan loji VOC di Jepara. Dia harus pula menyetujui orang pribumi berdagang beras dengan kompeni.
Srini menemui Baureksa memberi tahu bahwa di rumah sedang ada tamu, yaitu Purbasura. Baureksa pun kembali pulang. Welang mengikutinya. Welang pernah mengenal Purbasura yang menjaga Kadipaten Kalinyamat. Sundana sudah bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya di halaman. Dia lincah seperti ayahnya. Kesenangannya jethungan.Ya, jethungan memang sebenarnya permainan untuk anak laki-laki. Kalau sudah lari, Sundana sulit ditangkap. Larinya sangat cepat. Akan tetapi, jethungan biasa dilakukan berkelompok. Kalau salah seorang anak dari kelompok yang bersembunyi tertangkap, maka seluruhnya harus kalah. Mereka harus ganti yang mencari kelompok yang bersembunyi. Kalau anak-anak yang bersembunyi ketahuan, semua akan lari. Mereka pun mengejar berusaha mati-matian menangkap anak-anak yang lari itu. Sampai salah seorang tertangkap dan kelompoknya kalah lalu ganti mencari kelompok yang menang bersembunyi.
“Sudah lama kamu, Purbasura? Apa kejadian yang penting?” tanya Baureksa ketika masuk ke rumah diikuti Welang. Mereka duduk memperhatikan Purbasura.
“Anu, kanjeng. Saya akan melaporkan soal perdagangan beras antara orang Jawa dan kompeni di Jepara. Perdagangan makin ramai. Bukan hanya orang pesisir yang menjual beras kepada kompeni, tetapi juga orang-orang dari daerah pedalaman. Mungkin perdagangan itu menarik hati mereka, karena alat pembayarannya berupa uang emas kompeni.”
Membela Diri
Baureksa mengangguk-angguk. Welang memperhatikan cerita Purbasura dengan serius.. Namun, mungkin karena yang menjual beras makin banyak, kompeni mulai kekurangan uang untuk membeli. Kompeni mulai berutang. Seperti biasanya orang berutang, kompeni terus menunda pembayaran. Asal ditagih kompeni selalu menjanjikan “besok, besok, besok…” Namun, janjinya tidak pernah ditepati. Tidak pernah terwujud. Pedagang hanya diberi janji terus-menerus. Akhirnya para pedagang mengadu ke Kalinyamatan. Mohon kawelasan, kanjeng.”
“Akhirnya ketahuan juga kejahatan kompeni. Mereka bukan hanya jahat terhadap penguasa pesisir. Mereka menipu. Tadinya menyanggupi membuat loji kecil dari bambu, ternyata membangun loji besar dari kayu. Mereka juga membohongi rakyat kecil. Bisa saja penguasa pura-pura tidak tahu. Karena tidak ingin geger dengan penguasa yang lain. Namun, kalau kebiasaan pura-pura tidak tahu ini dituruti, akhirnya kawula alit yang tertindas. Ini tidak sesuai dengan adatnya orang Jawa. Sebab ratu dan para sentana adalah pengayom kawula. Orang yang pura-pura tidak tahu kan punya pamrih. Padahal menurut budaya Jawa, kita harusnya kan sepi ing pamrih rame ing gawe.”
Wajah Baureksa merah padam. Ia menoleh ke arah Welang.
“Kakang, kita harus berangkat ke Jepara hari ini,” ujarnya.
“Kelihatannya ini merupakan saat yang tepat untuk menghancurkan kompeni. Kompeni salah kepada bupati. Mereka salah pula kepada para kawula alit. Ayo kita pergi ke Jepara. Peristiwa menyerang Jepara akan terulang lagi. Dulu kita bersama menyerang benteng Portugis. Kini kita akan menyerang loji kompeni,” kata Welang
“Bukan begitu, kakang,” Baureksa cepat menukas. “Sekarang kita berada di bawah kekuasaan kraton. Kita harus memakai cara-cara priyayi. Kita harus memakai cara halus lebih dulu. Kecuali kalau mereka yang menyerang, kita akan membalas habis-habisan. Kalau kakang akan mengajak kawan-kawan, ajak saja Pilang, Joko Sutono, Yodipati, dan Sajamerta. Yang lain jangan dulu.”
“Lho, jadinya kamu sekarang kok berubah menjadi penakut? Bukankah saat-saat seperti ini yang kamu tunggu-tunggu?”.
“Ya, kalau saya tidak menjadi bupati, kakang. Pikiran saya sama seperti pikiran kakang. Maunya loji kompeni itu akan saya orak-arik dan Belanda yang menentang akan kita lawan. Namun, kini saya seorang bupati yang diangkat Sultan Agung, Raja Mataram. Sinuwun pasti tidak menghendaki kita berbuat seperti itu. Sinuwun ingin menjalin hubungan dagang dengan kompeni. Sinuwun menginginkan kawula Mataram hidup sejahtera. Mereka diharapkan dapat memperoleh penghasilan lumayan dari penjualan beras. Bukankah selama ini beras disia-siakan? Rumah-rumah petani selama ini selalu dipenuhi oleh tumpukan padi? Sinuwun ingin agar kawula Mataram sejahtera dari perdagangan beras, sedangkan kita ingin membalaskan dendam orang-orang pribumi yang telah menjadi korban kebiadaban kompeni.”
Welang berdiri. Menatap Baureksa dengan wajah kecewa. Namun, dia paham. Seorang sentana dalem memang sudah seharusnya patuh kepada raja. Ketika dia mengayun langkah nampak kebimbangannya. Suara hatinya sudah berbeda dengan tindakan yang akan dilakukan. Baureksa sendiri mengikuti lamunannya. Dia ingat ketika didakwa makan babi dan minum arak ketika ikut kapal Portugis. Dakwaan itu membuat dia membela diri dengan ucapan-ucapan yang bersemangat. Ucapan yang membangkitkan kebencian terhadap orang kulit putih.
Adakah ucapannya itu telah menjurus menjadi fitnah? Sudah menjurus pada hasutan yang tidak benar? Agama melarang fitnah, hasutan, dan kedengkian. Hal-hal yang dilarang agama ini oleh orang-orang yang mencintai duniawi malah dipergunakan dan dipelajari secara cermat untuk memperoleh kesenangan duniawi. Omongan merupakan alat paling ampuh untuk mencari dukungan orang lain. Sedikit sekali orang yang mau mempertimbangkan salah dan benar dalam menerima sesuatu. Mempertimbangkan salah dan benar waktu akan bertindak.
Kebanyakan manusia bertindak dan berpendirian didorong oleh perasaannya. Perasaan yang hakikatnya peka karena rangsangan nafsu. Seharusnya sebagai orang Jawa yang memiliki kebudayaan tapa, dia bertindak dengan pikiran jernih. Harus bertindak dengan pikiran heneng, hening, supaya tetap eling.