Home > CERPEN KAMPUS > Senja Jatuh di Jepara

Senja Jatuh di Jepara

Gunoto Saparie

Senja jatuh di Jepara saat Baureksa tiba. Setelah beberapa saat berada di Kadipaten Kalinyamat, Baureksa minta Purbasora yang masih trah kadipaten untuk mencari bunga guna ditaburkan di pusara Isabella. Dia berkata bahwa ada seorang kawannya yang dimakamkan di dekat Benteng Portugis. Ketika dia datang ke Benteng Portugis bersama Pilang dan Joko Sutono, ternyata benteng itu telah kosong tidak berpenghuni. Lama ketiganya melihat ruangan-ruangan yang ada di dalam benteng. Setelah berputar-putar di dalam, ketiganya pun lalu mencari tempat pemakaman di luar benteng. Di luar benteng mereka menemukan beberapa makam. Baureksa memeriksa nisan yang bertuliskan “Isabella.”

“Ini makamnya. Kasihan tidak ada yang merawatnya,” kata Baureksa seraya membuka baju. Ia membersihkan rumput di makam Isabella. Pilang dan Joko Sutono mencari kayu untuk membongkar akar-akar rumput yang melata di makam.

“Ah, andaikata ia masih hidup. Kesengsaraannya tentu terobati. Dia tidak akan sambat kekurangan makan. Tentu dia tidak melacur jika dia bisa memperoleh pakaian dan makanan cukup.”

“Kamu kelihatannya sangat sayang kepada Isabella,” sela Joko.

“Kalau ingat dia, saya cenderung kasihan.  Ketika saya ikut kapalnya pertama kali, penghidupannya sangat mewah. Dia cantik sekaligus angkuh seperti biasanya perempuan kulit putih. Namun, ketika Belanda mulai menghancurkan kapal-kapal Portugis kehidupannya mulai merosot. Ketika Crocodilla telah tenggelam, dia terpaksa melacur untuk memperoleh sepotong roti. Waktu itu dia mulai merengek, minta ikut saya ke Kaliwungu. Ia ingin menikmati kehidupan yang damai. Kehidupan di mana makanan tersedia cukup dan orang-orangnya rukun. Saya masih ingat waktu dia tertembak. Darahnya hangat meleleh ke tanganku, membuatku cemas. Dia sudah bicara seperti orang melamun. Dia ingin ke surga. Dia begitu percaya di surga tidak ada orang menderita. Di sana orang-orang hidup rukun dan makanan tidak kurang. Kasihan Isabella, dia mati pada usia sangat muda.”.

Makam itu telah bersih. Tidak ada lagi rumput dan semak. Baureksa berdoa bersama Pilang dan Joko. Bunga-bunga pun ditaburkan ke pusara Isabella. Mata Baureksa berkaca-kaca.

Penanggalan Masehi menunjukkan tanggal 22 September 1613. Kapal yang dinaiki Coen dan Appolonius berlabuh di Jepara. Orang-orang Belanda mendarat dengan perahu kecil. Karta yang ditunjuk sebagai juru bahasa menanyakan pusat pemerintahan Jepara kepada penduduk setempat. Coen dan pengawalnya dibawa ke Kalinyamat.

Ketika itu Baureksa masih berbincang-bincang dengan Pilang dan Joko. Saat Purbasura munjuk atur bahwa ada tamu kompeni Belanda, Baureksa masih menyelesaikan perbincangan. Para tamunya diminta menunggu di pendapa. Coen pun kesal. Di pendapa itu tidak ada kursi untuk duduk. Dia dan Appolonius hanya bisa berdiri. Coen ingin ketegasan. Karta disuruh bertanya, apakah tuan bupati ada. Karta pun balik lagi, bertanya kepada Purbasura.

Kota Suci

Ketika Baureksa keluar, matanya tertuju kepada Karta. Karta nampak terkejut. Matanya memandang penuh keheranan kepada Baureksa. Karta tidak dapat menahan rasa kangennya. Sambil berteriak dia lari memeluk Baureksa.

“Joao! Joao Boa, tuan! Kuli Portugis yang dulu ikut demonstrasi di depan loji kompeni. Wah, sekarang kamu jadi jongos-nya Bupati Jawa ya. Wah, edan tenan. Pakaianmu bagus. Gajimu pasti gedhe ya,” ujar Karta.

Tentu saja Purbasura menganggap Karta tidak sopan. Dia melangkah menarik tubuh Karta.

Kacung kompeni kurang ajar. Duduk, tolol. Kamu harus nyembah kepada kanjeng bupati,” kata Purbasura sambil menekan pundak Karta.

“Ampun, Gusti. Dia dulunya memang kawan. Sama-sama kerja di Jakarta,” Karta terpaksa duduk dan menyembah Baureksa mengikuti perintah Purbasura.

“Biar saja, Purbasura. Dia memang kawan baik saya,” kata Baureksa.

Karta mengelus-elus dada. Tidak diduga sama sekali bahwa Joao Boa yang dulu kuli itu ternyata telah naik pangkat menjadi bupati. Karta membungkuk merunduk membisiki Coen.

“Dia bupatinya, tuan.”

“O tabik, tuan regent. Kenalkan saya Gouverneur VOC. Nama saya Jan Pieter Zoon Coen,” ujar Coen sambil mengulurkan tangan ingin bersalaman dengan Baureksa. Namun, Baureksa menolak, tidak menyambut ajakan jabat tangan itu.

“Tidak usah mengenalkan. Saya telah tahu. Mungkin kamu yang belum kenal saya. Kamu mungkin akan terkejut kalau mendengar nama Baureksa.”

“O,” serunya seperti benar-benar terkejut. Padahal dia mencoba untuk tidak kaget. “Saya dengar tuan Bouraxa diangkat menjadi Bupati Kendal.”

“Kendal itu wilayahnya luas. Hampir seluruh pesisir Jawa bagian tengah masuk wilayah Kendal.”

Coen mengangguk-angguk. Katanya, “Emmm, tetapi dalam peta saya cari nama Kendal tidak ada, tuan.”

“Itu petanya keliru. Mengapa Kendal tidak digambar dalam peta? Padahal Kendal merupakan sebuah kota besar?”

“Baru kali ini saya mendengar ada kota besar bernama Kendal. Sepengetahuan saya Batavia satu-satunya kota besar di Jawa.”

“Oh Batavia atau Jakarta itu masih kalah besar dibanding Kendal,” Baureksa membantah dengan suara meyakinkan. “Namun, tuan jangan coba-coba mengunjungi Kendal. Kendal itu kota suci, tempat bermukim para ulama dan santri.”

“Tuan Bouraxa jangan khawatir ya. Selama hidup saya patuh kepada ajaran agama saya.”

“Ah, yang benar. Bukankah tuan telah merusak tanaman rempah-rempah dengan hongie di Maluku? Bukankah tuan sering merampas cengkih dan pala persis seperti tingkah perampok? Bukankah tuan juga menciptakan kejahatan di Batavia? Apakah itu perbuatan yang diajarkan agama?”

Coen menempelkan mulut ke telinga Karta, “Apakah dia Joao yang pernah menembakkan meriam dari loji Portugis?”

“Benar, tuan,” jawab Karta lirih

Suka Kelahi

Tuduhan Baureksa berhasil memojokkan Coen. Keringat dingin meleleh di wajah angker Coen. Laki-laki kulit putih berbadan tinggi jangkung dan berkumis lebat itu mati kutu.

“Saya tidak tahu apa yang tuan maksudkan,” kata Coen berusaha ngeles, pura-pura.

“Pengakuan tuan persis seperti pengakuan pencopet yang tuan bujuk untuk melakukan kejahatan di Batavia. Dakwaan saya tidak perlu tuan bantah.”

Ibarat orang maju perang, Coen beberapa kali telah terkena tembakan sebelum sempat mengisi bedil. Coen ingin memutuskan topik pembicaraan itu dan beralih ke soal lain.

“Maaf, tuan Bouraxa. Saya ingin meneruskan izin dagang yang telah dikeluarkan Panembahan Mas Jolang. Menurut perjanjian, setelah izin dagang disetujui kompeni boleh mendirikan loji di Jepara. Kompeni ingin mendapat petunjuk dari tuan Bouraxa, di manakah kompeni harus mendirikan loji?”

“Saya tidak ingin mencampuri urusan kompeni dalam memilih tempat. Yang terang, di tanah manapun loji itu didirikan, kompeni harus membayar ganti rugi kepada pemilik tanah. Kompeni tidak boleh memaksa. Dasar pemakaian tanah harus secara sukarela. Orang Jawa itu punya pepatah sedumuk bathuk senyari bumi. Tanya itu artinya kepada Karta.”

“Baik, baik. Saya sanggupi, tuan.”

“Tetapi Jepara tidak boleh menjadi Batavia kedua. Penuh bangunan kompeni, penuh benteng, jalan, dan parit. Jika kompeni mencoba mengubah Jepara seperti Batavia, maka seluruh perjanjian batal. Kapal kompeni sampai kapanpun tidak boleh berlabuh di Jepara. Untuk mendirikan loji terserah tuan mau memilih tempat yang mana. Yang jelas, kompeni harus membuat loji sesuai dengan ukuran rumah-rumah penduduk. Kompeni tidak boleh membuat bangunan yang lebih besar rumah-rumah penduduk. Loji harus dibuat kecil dari bambu.”

“Dari bambu?” Coen terperangah. “Tuan, loji itu untuk perkantoran. Untuk tempat beristirahat para pegawai VOC dan tempat untuk menimbun beras. Bagaimana sebuah bangunan kecil dari bambu bisa dimanfaatkan untuk hal-hal tersebut?”

“Kalau kompeni mau menerima persyaratan itu, loji boleh segera dibikin. Namun, kalau kompeni menolak, perjanjian dagang dibatalkan tidak apa-apa.”

“Tuan Bouraxa, saya minta tuan jangan bermain-main. Jangan mempermainkan kompeni!”

Coen mulai emosional. Kata-katanya menunjukkan sikap menantang.

Baureksa nyengir kuda. Dia senang bisa memancing kemarahan Coen.

“Orang Barat suka main kartu, bukan? Saya tahu kartu yang tuan pegang. Namun, saya tidak yakin tuan bisa melihat kartu yang saya pegang.”

“Ini bukan persoalan gaple. Ini persoalan membuat loji, tuan,” muka Apollonius memerah.

Mata Baureksa jadi beringas memandang Appolonius.

“Jangan mencoba menantang Baureksa, tuan. Orang yang kulitnya coklat seperti saya ini lebih suka berkelahi katimbang bertengkar.”

“Boleh, tuan. Di mana tuan akan mengajak saya berkelahi?” Appolonius bertambah pongah.

“Kalau tidak berani bantingan di sini, boleh bantingan di tengah sawah. Kamu boleh membawa bedil dan teman-temanmu untuk mengeroyok saya,” tantang Baureksa penuh kesungguhan.

Hati Appolonius jadi panas. Dia melangkah maju. Namun, Coen mengalanginya.

“Jangan, Appolonius. Dia orang sakti. Kamu bisa mati dipukul dan dibanting dia.”

Dengan wajah yang masih marah Apollonius bersungut-sungut, “Ah, paling-paling tuan beraninya berkelahi di rumah sendiri. Coba kalau berani ke Holland.”

Baureksa geragapan ketika mendengar nama Holland. Nama kampung itu belum pernah dikenalnya. Dia memandang Karta dan menggerakkan jarinya. Karta tanggap bahwa dia dipanggil Baureksa. Ia mendekat. Baureksa berkata lirih sekali, “Kampung Holland itu letaknya di  mana?”

“Kampung Holland itu Nederland. Negeri Belanda,” bisik Karta.

Baureksa merangkul Karta, dibawa masuk ke dalam ruangan lain.

“Sastra sudah mati,” ujar Baureksa. “Ia dibunuh orang Portugis. Mayatnya dibuang ke laut. Kamu masih ingat kawanku yang namanya Sastra?”

Karta mengangguk.

“Mungkin kamu pernah mendengar aku diuber-uber kompeni di Jakarta. Katanya aku dedengkot perampok. Aku sangat benci kepada kompeni. Kalau sampai Mataram berperang melawan kompeni, kamu akan memihak siapa?”

“Ah, saya tidak pernah gelut. Saya tidak ingin ikut siapa-siapa,” jawab Karta.

“Kamu tak usah ikut perang, Karta. Sedikit-sedikit kan kamu bisa menulis. Kalau Belanda merencanakan atau melakukan tindakan merugikan orang Jawa, tulis saja surat kepadaku. Titipkan surat itu kepada para tukang perahu pribumi yang singgah ke Jepara. Sebutlah namaku dengan nama perempuan, Srini, agar tidak dicurigai. Sebut juga kompeni dengan sindiran babi. Kamu paham?”

Karta mengangguk. Dia diajak keluar lagi. Sampai di luar Karta dipanggil Apollonius. Dia melangkah mendekati Appolonius.

“Apa yang kamu bicarakan dengan Bouraxa?” kata Appolonius lirih.

“Dia menanyakan kampung Holland, tuan.”

“Apa betul dia bajak laut itu?” ucapan Appolonius lebih iirih lagi.

“Benar, tuan.”

Appolonius mendekatkan mulutnya ke telinga Coen, “Bajingan! Dia itu bajak laut yang ditakuti orang kulit putih!”

Baureksa tidak suka melihat Appolonius berbisik ke sana ke mari. Sebelum seluruh ucapan Appolonius selesai, Baureksa memotong, “Tidak usah bisik-bisik. Kalau mau ngeroyok saya, silakan saja.”

“Tidak, tuan. Saya sedang berunding tentang masalah pembuatan loji. Emmm, ya… kami menerima, tuan. Lain hari kami akan mengirim petugas untuk membuat loji di Jepara. Terima kasih, tuan.”

Pilang dan Joko Sutono mendengarkan percakapan Baureksa dan Coen. Meskipun keduanya tidak mengerti bahasa yang diucapkan Coen, tetapi dia ikut merasakan adanya ketegangan.

“Mengapa percakapannya jadi sengketa ramai? Siapakah orang Belanda itu?” kata Pilang.

“Dia namanya Jan Pieter Zoon Coen. Orang Jawa menyebutnya Murjangkung,” jawab Joko.

“Sinuwun mungkin menghendaki saya berbuat seperti itu. Mungkin biar kompeni takut,” ujar Baureksa.

“Kalau perlu kraton harus diadu dengan kompeni. Biar terjadi perang. Kalau Belanda sudah kalah, ia akan kembali ke negerinya,” kata Joko. “Bukankah kita menghendaki agar mereka tidak melakukan penindasan terhadap orang pribumi?”

“Saya menyokong pendapat itu. Makin cepat kita bisa perang dengan Belanda, makin cepat persoalan yang kita hadapi dapat diselesaikan. Kira-kira kalau kita perang sekarang, apakah kita berani ya?” tanya Pilang kepada Baureksa.

“Kalau yang diberangkatkan perang cuma orang Kendal dan Jepara, jelas kita bakal kalah. Belanda jumlahnya ribuan. Namun, kalau yang perang itu Mataram melawan Belanda, peperangan tak akan berlangsung lama. Mataram pasti menang. Jumlah orang Mataram kan ratusan ribu.”

Baru pertama kali ini Coen berjumpa dengan dengan orang yang namanya Baureksa. Tubuhnya kekar, memiliki kumis panjang dan brewok. Dia bukan seperti orang Timur lain yang memiliki watak lemah lembut. Coen tidak sanggup menatap sinar matanya. Mata itu seakan menghipnotis siapa saja yang berani memandang. Tubuhnya seakan dibuat dari besi tuangan. Seakan dia percaya bahwa tidak akan ada orang yang sanggup menaklukkan dirinya.

 

* Artikel ini telah dibaca 335 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *