SEMARANG[Kampusnesia]- Penulis pemula disarankan harus berasosiasi, sebagai upaya untuk menghidari kerugian akibat hasil royalti dari penjualan buku yang dilakukan para penerbit semakin tidak trasparan dengan menentukan pola bagi hasil sepihak.
Sekertaris Penulis Profesional Indonesia (Penpro) Kota Semarang Wiwien Wintarto mengatakan penulis pemula sebaiknya harus berasosiasi agar tidak ada lagi penulis yang dirugikan dari hasil royalti penjualan buku oleh penerbit.
“Selama ini permasalahan yang sering dihadapi penulis baru pada umumnya berkaitan persoalan royalti yang diberikan penerbit, apalagi penerbit indi dan penulisnya baru pertama kali menerbitkan buku, ini sasaran empuk bagi mereka untuk memperoleh keuntungan,” ujarnya, Senin lalu. (12/12).
Penulis yang telah menerbitkan 25 buku itu menuturkan banyaknya kasus penulis baru yang dirugikan para penerbit dari hasil kesepakatan royalti, karena penulis pemula belum memahami pola bagi hasil dari royalti terutama perhitungan berapa nilanya yang seharusnya hak penulis terima.
“Para penulis pemula selama ini belum mengetahui dan masih kesulitan mencari informasi kepada siapa mengenai aturan royalti dan ketidak tahuan penulis pemula inilah yang dimanfaatkan penerbit dengan seenaknya menentukan pola bagi hasil sepihak,” tuturnya.
Menurutnya, salah satu pengalaman yang dialami bendahara Penpro Kota Semarang Sophie Maya yang pernah menerbitkan buku di salah satu penerbit indi di Yogyakarta dalam kesepakatan yang dibuat penerbit, penulis hanya diberikan royalti 5% dari hasil pejualan buku.
Hal itu dilakukan penerbit dengan dalih untuk memenuhi perubahan peraturan Pemerintah mengenai pajak dan lainnya, meski sebenarnya ketentuan besaran standar royalti penerbit di Indonesia bagi penulis 10% dari harga eceran penjualan per buku.
Selain itu, lanjutnya, kasus juga pernah dialami seorang penulis yang masih duduk dibangku SMA di Palembang, karyanya dihargai Rp1,5 juta oleh penerbit, bagi penulis pemula mungkin itu harga yang wajar, namun, sebenarnya kalau diukur dari penghasilan standar dari kaya novelnya sekitar 200 halaman bisa menghasilkan sebesar Rp15 juta.
“Kasus seperti itu saya kira banyak terjadi, hanya penulis masih enggan untuk mengadukan kepada penulis senior atau orang yang paham tentang penerbitan,” ujar penulis novel “Say No To Me“.
Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stik) Semarang yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang itu menambahkan Penpro Semarang yang merupakan cabang dari Penpro Nasional berdiri pada 18 Febuari 2017 dan mulai mengajak penulis pemula atau yang sudah memiliki banyak karya untuk bergabung dan berbagi pengalaman kepada yang ingin menerbitkan buku atau yang lagi membuat naskah.
“Penpro juga ada tim advokasi yang menangani timbulnya permasalahan yang terjadi seperti dialami bendahara Penpro itu,” tutur ,” tutur Wiwien.
Selain itu, dia menambahkan Penpro juga dapat memfasilitasi menuju banyak urgensi dunia kepenulisan yang lain, di antaranya advokasi bagi penulis jika ada permasalahan dengan penerbit dan memberikan kemudahan bagi penulis untuk menerbitkan buku, baik di penerbit major ataupun indi.
“Silakan bagi yang ingin bergabung ke Penpro bisa mengunjungi website www.penpro.id atau Penpro Semarang di media sosial,” ujarnya.(Miftahul Khoir/rs)