Dalam Ilmu Komunikasi terdapat dua teori yang berkaitan dengan permainan komunikasi, selain “The game theory of communication” juga “the play theory of communication, dengan komunikasi sangat berbeda baik bunyinya, maupun penerapannya, namun, ke duanya bisa digabung untuk dapat diterapkan.
Apa yang dilakukan salah satu elit politik sebagai tersangka dalam sidang tipikor terkait dengan kasus E-KTP yang terkesan berpura-pura sakit, meski sejumlah dokter independen yang dihadirkan hakim menyatakan sehat.
Ulah elit politik itu dengan tujuan mengulur waktu untuk menghindarkan pengguguran tuntutannya melalui Pra Peradilan, meski akhirnya gagal, itu yang dinamakan The game theory of communication. Dalam pengertian ini, si pemain memiliki tujuan tertentu sesuai dengan yang diinginkan.
Meski dari sisi ketentuan peradilan apa yang dilakukannya itu mungkin akan sangat merugikannya, namun dari sisi tampilan dalam sidang yang ditayangkan melalui berbagai media memungkinkan dapat mengundang iba atau simpatisan para pemirsa atau pembaca, meski ada sebagian di antaranya justru terpancing emosionalnya akibat merasa jengkel.
Permainan komunikasi pada jenis ini, sangat dekat dengan teori dramatisme, di mana pelaku berupaya memainkan metafora theatrical (acting) untuk meyakinkan masyarakat pemirsa dan pembaca media, sehingga diharapkan akan memunculkan berbagai perasaan, namun yang dituju tentunya adalah perasaan simpati atau iba dari mereka. Teori dramatisme versi Burke dan Goffman ini, pada umumnya digunakan para elit saat berkampanye dalam mencari simpati masyarakat, baik dalam pemilihan legislatif atau pun ekskutif.
Disisi lainnya, the play theory of communication mengandung pengertian serta tujuan menyajikan pesan-pesan komunikasi melalui media apa pun yang mampu menghibur audience (tidak harus menyajikan hiburan, misalnya musik dan lainnya), sehingga pesan komunikasi tersebut akhirnya akan diminati oleh kalangan audience.
Bila kita cermati, apa yang dilakukan dalam peristiwa dalam sidang Tipikor kasus E-KTP tersebut, boleh jadi bisa dibilang pantas bila ada penggabungan antara the game theory of communication dengan the play theory of communication, karena peristiwa sidang tersebut terpublikasi baik langsung atau pun tunda melalui berbagai media massa.
Pertanyaannya, akankah ke depan masih ada elit politik yang karena tahu atau pun tidak, sadar atau pun tidak memanfaatkan kedua teori atau salah satu teori tersebut dengan tujuan tertentu yang terselubung ada keinginan yang diharapkan?. Tidakkah sebenarnya masih banyak cara lain yang lebih elegan, karena dalam mengumbar janjinya, para elit politik secara terang dan terbuka mengatakan ingin menyejahterakan rakyat ?.
Kejujuran
Bila para elit belajar dan faham akan prinsip komunikasi, maka sebenarnya kejujuran (honesty), harus menjadi hal utama yang mereka perhatikan. Dalam bahasa komunikasi, kejujuran dan etika komunikasi tidak boleh dikalahkan oleh prinsip lainnya, yaitu “menarik perhatian”, yang biasanya lebih ditonjolkan, utamanya dalam melontarkan pernyataan melalui berbagai media massa.
Para elit seharusnya sadar, apa yang mereka janjikan dari sisi public relations harus mereka realisasikan, tatkala telah terpilih kelak. Kecaman yang dilakukan oleh berbagai kalangan terhadap elit yang terpilih menjadi pejabat misalnya, membuktikan dalam membuat janji para elit harus berhitung secara cermat, apakah bisa direalisasikan kelak atau tidak. Bermain drama atau pun memainkan komunikasi dalam meraih simpati memang penting, namun mewujudkan janji tatkala terpilih nanti jauh lebih penting.
Salah satu prinsip komunikasi lainnya yang berbunyi “ kinerja berkata lebih nyaring dibanding wacana” itu pun perlu diperhitungkan, mengingat bagi petahana yang ingin mencalonkan kembali misalnya, para calon pemilih tentu akan melihat sejauh mana janji-janjinya dahulu yang sudah diwujudkan.
Akan menjadi modal bila calon pemilih puas akan kinerjanya melalui apa yang mereka alami serta rasakan, sebaliknya akan menjadi rintangan komunikasi (communication strugle) yang sulit diatasi bila rakyat menilainya ingkar janji. Terkait hal ini seperti pepatah nila setitik yang merusak susu sebelanga, utamanya efek negatif terhadap partai pengusungnya akan terjadi pula.
Bermain komunikasi dalam meraih simpati tidaklah salah. Namun, bermain komunikasi hanya sekedar meraih tujuan jangka pendek, tentu sangatlah merugikan. Rakyat sebagai calon pemilih yang semakin dicerdaskan oleh berbagai media serta semakin meningkatnya tingkat pendidikan, tentu akan makin mampu memilih mana yang harus mereka pilih, serta mana yang harus mereka tolak.
Disisi lain bermain komunikasi untuk tujuan memenangkan sesuatu, tentu resikonya bakal merugikannya sendiri harus dihindarkan. Dalam bahasa public relations, semua institusi, termasuk para elitnya selalu akan mengandung faktor yang menyebabkan munculnya krisis. Semua pekerjaan atau pun kegiatan selalu ada resiko, terlebih bila pekerjaan serta profesi yang kita lakukan tidak sesuai atau melanggar ketentuan.
Kondisi itu, bila para elit mengalami masalah sesuai dengan kegiatan atau pun profesinya, maka sebaiknya dihadapi secara elegan. Memperbaiki keadaan, tentu bukanlah tanpa resiko. Namun, bila resiko tersebut dipilih sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi yang lebih luas, misalnya, untuk kepentingan bangsa dan negara, maka resiko apa pun harus berani diambil.
Sebaliknya bila memang dari awal para elit melakukan segala sesuatu yang menyalahi aturan dan akhirnya ketahuan, maka sebaiknya perlu dihadapinya secara jantan. Bila toh permainan komunikasi mereka lakukan, hendaklah permainan cantik untuk kepentingan banyak orang.
Akhirnya, kita tentu berharap, para elit tidak menampilkan berbagai permainan komunikasi yang justru membuat rakyat awam bingung atau rakyat terdidik antipati. Bermain komunikasi yang apik dan menarik sekaligus bermanfaat sebaiknya diutamakan, sehingga baik para elit, media, serta masyarakat memperoleh mafaatnya masing-masing secara maksimal.