Perdebatan panjang menyaksikan polemik tidak berujung antar elit semakin gundah rasanya yang terjadi saat ini. Berbagai polemik seolah tak pernah berhenti menghiasi berbagai media, baik media mainstream, terlebih media sosial yang kian liar dan sulit dikontrol.
Belakangan ini semakin hangat di antaranya polemik persoalan reklamasi Teluk Jakarta, penutupan Alexis, pembangunan infrastruktur di era Jokowi-JK yang oleh sebaagian kalangan dianggap abai terhadap aspek lainnya, wacana pembentukan Densus Tipikor oleh POLRI, soal UMP utamanya di DKI, Penolakan Mendagri terhadap kenaikan dana Parpol Rp4000 per kepala dan TGUPP serta berbagai masalah lainnya.
Bila dicermati, berbagai polemik yang mencuat sekaligus membingungkan rakyat itu, bersumber dari adu kuat, saling ngotot, saling cari benarnya sendiri (justifikasi) serta mengedepankan ego serta kepentingannya masing-masing. Cukup mengherankan, misalnya tatkala Wapres Jusuf Kalla yang konon merupakan pendukung terpilihnya Anis-Sandi mengatakan kedua pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI itu sudah tidak masalah dengan Pulau B dan C yang sudah terwujud dan dimanfaatkan, namun, di lain kesempatan bertemu kalangan pers, Anis tetap berpedoman pada draf janji kampanye yang tertulis.
Demikian pula, misalnya dengan pernyataan mantan Menteri ESDM Sudirman Said yang juga mantan anggota tim sinkronisasi Anis-Sandi terkait penerbitan Pergub Reklamasi berulang kali dibantah kalangan Istana Merdeka dengan mengemukakan berbagai data pendukung.
Berlarutnya persoalan yang tampaknya lebih pada nuansa politis menjelang Pemilukada serentak 2018 serta Pemilu Raya 2019 itu oleh sebagian kalangan dianggap kontraproduktif serta menghabiskan energi semata. Rasa saling curiga, rasa ingin dianggap benar dan keluar sebagai pemenang, tampaknya menutup urgensi jabatan yang mereka emban untuk menyejahterakan rakyat.
Sementara terkait dengan pembentukan Densus Tipikor yang masih merupakan wacana serta usulan, pemecahannya lebih mudah, seperti yang dilakukan sekarang dengan cara menundanya. Namun, terkait dengan reklamasi yang konon terjadi sejak era-era Gubernur DKI sebelumnya dan sudah terlanjur terjadi, maka solusinya tentu tidak cukup dengan setuju atau tidak setuju, atau penghentian seperti janji politis saat kampanye, namun perlu dicarikan solusi yang sebaik-baiknya dan merupakan win-win solution.
Begitu juga dengan persoalan upah buruh, pembelian helikopter dan Alutista lainnya, bahkan hal lain yang sudah merupakan keterlanjuran. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, tentu tidak mungkin dikembalikan menjadi nasi kembali.
Pertanyaannya adalah bersediakah para elit itu tampil di panggung terbuka melakukan dialog, guna mencari jalan ke luar yang terbaik dengan tujuan utama menyejahterakan rakyat?. Apa yang harus mereka saling sadari, bila memang jalan dialog dihadapan publik yang akan mereka tempuh?.
Demokrasi Saling Mengalah
Eforia kebebasan serta demokrasi yang terjadi sejak era reformasi, nampaknya hingga saat ini masih banyak disalahmaknai. Bila lebih dicermati sikap serta perilaku para elit melalui berbagai media, sengaja mereka manfaatkan demokrasi itu untuk kebebasan menyampaikan pendapat, pandangan, bahkan melakukan kritik tanpa batas.
Padahal, bila dilihat demokrasi, khususnya dari pendekatan Ilmu Komunikasi, demokrasi itu pada hakekatnya adalah dialog. Sedang inti dari dialog itu bila dicamkan adalah saling mengalah, karena tujuannya adalah menjadi titik temu serta saling pengertian (mutual understanding).
Dengan demikian, bila memang jalan dialog yang dipilih dalam memecahkan bahkan menyelesaikan masalah, maka antar para elit yang melakukannya, haruslah siap saling mengalah. Bila dicermati secara lebih dalam, maka sebenarnya Demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah mufakat, hanya mungkin terjadi bila para pesertanya mau saling mengalah, demi kepentingan yang lebih besar dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Sayangnya, saat ini demokrasi sudah lebih cenderung sebagai demokrasi liberal yang mengutamakan pengambilan keputusan melalui voting, yang cenderung terkesan saling adu kuat dan kebenaran secara kuantitatif diambil berdasarkan suara terbanyak. Di balik itu, indikasi seringnya terjadi walk out di antara para pengambil putusan menunjukkan ketidakmauan mereka saling mengalah dengan dalih demi kepentingan rakyat.
Kebiasaan melakukan voting dalam pengambilan keputusan itulah yang nampaknya terbawa oleh para elit lainnya dalam mempertahankan perdapat serta argumennya. Meski mungkin berdasarkan data yang ada argumen dari elit tertentu benar misalnya, namun tidak bisakah argumen tersebut agak dikendurkan, bila ada kepentingan lain yang lebih besar, terlebih bila yang diperdebatkan tersebut telah terlanjur dilakukan.
Perdebatan dengan saling melakukan pembenaran (justification) sebenarnya saat ini sudah tidak terlalu efektif pengaruhnya. Rakyat yang makin dicerdaskan utamanya oleh berbagai media serta semakin meningkatnya tingkat pendidikan mereka dan dibingungkan oleh perdebatan tidak berujung, akhirnya akan melakukan penilaian hingga mengambil keputusan berdasarkan apa yang mereka rasakan serta alami.
Kondisi itu, tidaklah mengherankan bila hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang terus meningkat, meski kebijakan pengutamaan pembangunan infrastruktur ada yang menganggapnya salah kaprah.
Mungkin untuk wilayah Jawa, khsususnya kota-kota besar, pembangunan infrastruktur dampaknya belum begitu tersasa, selain justru kritik terjadinya kemacetan yang parah serta pengabaian amdal lalu lintas seperti yang disampaikan Gubernur DKI. Namun, berdasarkan informasi dari berbagai kerabat serta kolega yang hidup serta berkarya di luar P Jawa, maka pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, sangatlah dirasakan manfaatnya bagi rakyat.
Kemacetan sebagai dampak pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, jalan layang, underpass dan sejenisnya tentu menimbulkan ketidaknyamanan sementara. Namun, bila kelak telah selesai pembangunannya, dampak positifnya tentu akan dirasakan, termasuk pada pembangunan infrastruktur sektor lainnya.
Alangkah indahnya bila para elit mulai saat ini mengurangi saling adu argumen mencari benarnya sendiri demi kepentingan politik jangka pendek. Menggunakan model deception communication ( komunikasi pengelabuhan) memang tidak selamanya jelek serta negatif, bisa juga positif bila tujuannya adalah mengupayakan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya bila komunikasi pengelabuhan tersebut digunakan hanya untuk mengambil hati dan diabaikan setelah terpilih, maka dampaknya rakyat tidak bakal mempercayai serta tidak akan memilihnya kelak, karena dianggap ingkar janji. Menurut seorang pakar Yale, kharakternya dianggap jelek dan akan menurunkan kredibilitasnya.
Jalan ke luar untuk mengatasi semua itu, pada kasus keterlanjuran, adalah melakukan dialog dengan prinsip saling mengalah, adalah jawabannya.