Home > CERPEN KAMPUS > Penyergapan

Penyergapan

Oleh: Gunoto Saparie

Senja merayap pelan di bumi Jepara. Ada seekor burung camar mengepakkan sayap yang letih di atas buih laut. Sebentar lagi pantai gelap. Baureksa merencanakan penyergapan ke lokasi pembuatan benteng kompeni di Jepara. Pilang dan Joko yang telah tahu tempatnya berjalan hati-hati di depan.

Setelah jaraknya dekat, mereka pun mengendap-endap. Maju dengan hati-hati, menyelinap di semak-semak. Namun, para penjaga lokasi itu curiga ketika melihat semak bergoyang-goyang. Beberapa orang menghunus pedang. Di tempat itu Speelman memang melarang bawahannya menggunakan bedil. Bunyi sudah pasti akan menggagalkan tugas rahasia itu.

Karena ada beberapa penjaga yang curiga, Pilang mengangkat tangan. Ia memberi isyarat agar Baureksa dan kawan-kawan terus bersembunyi sebaik-baiknya. Celakanya, seorang penjaga makin curiga ketika mendengar bunyi daun-daun kering gemersik terpijak kaki. Dia maju. Bersiap dengan  pedangnya. Begitu penjaga itu berada dekat di sebelah Joko, langsung ditusuk keris. Mulutnya dibungkam. Namun, waktu mayat itu terkapar suaranya sempat didengar beberapa penjaga lain.

“Martin,” kata salah seorang penjaga itu sambil berjalan menuju arah suara temannya.

“Martin, di manakah kamu?”

Penjaga itu terus maju. Suasana remang-remag. Ia tidak menyadari Pilang ada di depannya. Dengan cekatan Pilang menusukkan keris ke ulu hatinya. Kompeni yang ditusuk pun berteriak kesakitan. Melolong.

“Majuuu!!” teriak Pilang. Semuanya berhamburan maju. Orang-orang Belanda terkejut. Setelah menyadari bahwa tempat itu diserang, mereka pun berusaha mengambil bedil. Namun, serbuan itu begitu dahsyat. Belanda tak sempat mengisi bedil dengan peluru. Perkelahian sengit terjadi. Teriakan-teriakan orang yang dendam, jeritan orang yang kesakitan, lolongan orang yang terkapar, terdengar sampai jauh.

Melawan Kompeni

Sejak perisitia penangkapan pedagang beras dan penyitaan perahu oleh kompeni, rakyat Jepara selalu waspada. Oleh karena itu, begitu mendengar suara-suara perkelahian, orang-orang dari desa terdekat pun mengajak tetangganya. Mereka membawa senjata seadanya. Orang-orang yang tidak diundang itu nimbrung ikut berkelahi. Yang tidak kebagian musuh merusak benteng belum jadi itu. Timbunan kayu mereka bakar. Rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para pekerja proyek pembuatan benteng pun dibakar. Penduduk pribumi bersorak-sorak puas.

“Mudah-mudahan kompeni marah. Mudah-mudahan peperangan terus berkelanjutan sampai semua orang Belanda meninggalkan tanah Jawa,” Welang mengulangi uneg-uneg-nya.

Kakang sudah melihat? Seperti itulah semangat orang-orang pesisir. Mulai dari Tegal sampai Pati, orang-orang pesisir telah bersatu padu siap melawan kompeni. Jika perang dengan kompeni dimulai, kompeni tidak akan sempat meninggalkan Jawa. Mungkin hanya namanya saja yang sempat dibawa pulang,” kata Baureksa.

“Untung pembuatan benteng ini konangan. Jika benteng  sudah terlanjur jadi, tentu kita akan susah mengatasinya. Bayangkan meriam akan dipasang di pojok-pojok benteng. Dari atas para penembak bisa bebas membidik penyerang. Dengan  meriam yang kita punyai, rasanya sulit tembok benteng setebal itu bisa dihancurkan.”

Bunyi ledakan menggelegar. Rupanya api melalap timbunan mesiu.

“Aduh. Meriamnya sebenarnya tadi bisa kita rampas. Wah, mengapa penduduk tergesa-gesa melakukan pembakaran?” Pilang menyesali.

“Apa mau dicegah? Berani mencegah rakyat yang sedang mengamuk, kamu malah bisa kena bacok sendiri,” ujar Sajamerta.

Ledakan-ledakan kecil masih menyusul. Orang-orang menjauhi benteng yang sedang terbakar. Tidak ada orang Belanda yang selamat. Amarah penduduk tak bisa dikendalikan. Baureksa melangkah meninggalkan lokasi itu.

“Anggaplah perang dengan kompeni telah dimulai. Kita harus tahu bahwa kapal kompeni secara berkala pasti datang ke benteng yang mereka buat,” sambil berjalan Baureksa menasihati kawan-kawannya.

“Jika ada kapal kompeni datang, enaknya kita adang dengan perahu perang Mataram. Kita hancurkan kapal itu ketika masih berada di tengah laut,” tutur Welang.

“Jangan,” ujar Baureksa tenang. “Saya rasa perahu kita lebih baik katimbang perahu perang Mataram. Perahu perang Mataram itu tanggung. Perahu itu masih terpengaruh ombak, sehingga bidikan meriam tidak akan menjamin perkenaan. Karena perahunya lebih besar katimbang perahu kita, mudah sekali dihantam meriam musuh.

Kapal kompeni yang besar itu tidak begitu terpengaruh saat terkena ombak. Oleh karena itu, tembakannya bisa diandalkan, tak meleset. Perahu kita yang kecil, bidikan meriamnya memang jauh lebih jelek katimbang perahu perang Mataram. Namun, perahu kita sulit dibidik musuh. Soalnya badan perahu kita terlalu kecil. Enaknya, jika ada kapal kompeni datang, para penumpangnya kita sergap setelah mendarat.

“Namun, jika mereka tahu bentengnya kita bakar, tentu mereka telah siap tempur.”

“Kalau begitu kita jangan hanya membawa keris atau tombak. Kita pindahkan dua pucuk meriam yang bisa dibawa ke darat. Kita bisa mengambil meriam itu dari perahu. Asal kita melihat kapal mendekat ke pantai, kan masih ada waktu untuk mempersiapkan meriam.”

“Wah, tidak usah bingung. Belanda tidak akan marah. Tidak. Wong Belanda masih punya urusan tawanan dengan Mataram. Paling-paling Belanda minta berunding,” ujar Pilang menunjukkan kejengkelan.

Mereka benar-benar berharap peristiwa pembunuhan kompeni dan pembakaran benteng itu bisa menyeret Belanda ke dalam perang dengan Mataram. Telah lama mereka berharap peperangan bisa terjadi. Namun, jika ingat bahwa Belanda masih menawan sejumlah orang pribumi dan Mataram masih menahan belasan orang kompeni, agaknya harapan akan terjadinya perang itu bisa gagal.

Selain itu, Belanda sendiri juga masih berharap dapat membeli beras secara besar-besaran dari Mataram. Welang menatap Pilang dengan perasaan tidak senang. Sebab dia telah membuyarkan harapannya.

“Heran aku. Perang mana lagi yang akan diharapkan. Kita kan baru saja perang dengan Belanda. Dan besok, kalau ada kapal kompeni merapat ke pantai, peperangan itu kita ulangi lagi,” tukas Yodipati.

“Perang yang kita harapkan bukan perang kecil seperti itu. Kita mengharapkan perang besar yang bisa memusnahkan kompeni. Orang Jawa seluruhnya perang melawan kompeni. Itu yang kita bicarakan,” ujar Welang.

Jepara Hangus

Coen menggiring kapal kompeni yang dipusatkan di Ambon. Inggris dan Kadipaten Jayakarta akan digempur habis-habisan. Coen yakin bisa mengalahkan persekutuan Ingggris dan Jayakarta. Inggris tentu tak bisa berkutik jika dikepung dengan kekuatan besar.

Ketika kapal-kapal itu melewati Jepara, Coen memberi petunjuk agar berlayar agak menepi. Dia ingin memberi isyarat kepada Speelman bahwa kompeni akan menggempur Inggris. Jangan sampai Speelman tidak siap kalau Inggris sampai melarikan diri ke Jepara.

Coen melihat daratan dari teropong. Setelah itu mencocokkan dengan peta. Kapal itu datang dari timur. Dari Ambon. Pelayaran mengikuti garis pantai Jepara yang berbentuk lengkung. Orang-orang Jepara yang berjaga-jaga di darat terkejut. Kapal kompeni itu datangnya terlalu tiba-tiba. Mereka sibuk memanggil kawan-kawannya untuk mempersiapkan meriam.

Dari atas kapal jelas terlihat tumpukan kapur. Di belakang tumpukan kapur itu terlihat bekas kebakaran. Tidak salah lagi. Yang terbakar adalah adalah benteng yang sedang dibikin. Para awak kapal berkelompok menyaksikan bekas-bekas kebakaran itu. Tangan mereka menuding-nuding. Mereka berbicara sendiri-sendiri.

Kapal diperlambat. Bekas kebakaran itu diamati secara teliti. Orang-orang yang di darat bersiap-siap untuk melakukan penyergapan. Meriam sedang diambil. Mereka mengira bahwa kapal kompeni itu akan menurunkan jangkar. Kapal tetap berjalan lambat. Coen memberikan perintah agar meriam diisi peluru. Dia akan membalas tindakan Baureksa. Kota Jepara pun dihujani tembakan meriam dari laut.

“Hancurkan rumah-rumah di sana. Hancurkan Jepara!” teriak Coen.

Tembakan meriam menggelegar berulang kali. Rumah-rumah penduduk di Jepara pun terbakar. Api berkobar-kobar. Kompeni puas melihat Jepara diamuk jago merah. Kapal kompeni pun ngacir pergi meneruskan perjalanan menuju Batavia.

Mendengar tembakan meriam bertubi-tubi, orang-orang yang ada di Kadipaten Kalinyamat gusar. Mereka berlarian mendatangi tempat yang ditembaki dari laut. Beberapa perahu yang bersenjata meriam berusaha mengejar. Namun, kapal kompeni berlari lebih cepat. Usaha untuk mengadakan pembalasan pun sia-sia. Sebagian Kota Jepara hangus karena tembakan meriam kompeni.

Ketika kapal dari Ambon datang, sekelompok orang Inggris menghentikan rombongan kapal yang mulai memasuki muara Sungai Ciliwung. Mereka memprotes agar kapal-kapal Belanda itu menurunkan bendera Inggris. Coen merapatkan kapalnya di Fort Jacarta. Dia turun minta penjelasan dari Both.

“Agaknya Thompson melarang kapal-kapal VOC mengibarkan bendera Inggris. Tampaknya Inggris melakukan balasan setelah VOC merebut bentengnya di Pulau Banda. Persekutuan Inggris dan Jayakarta telah patah. Meriam-meriam Inggris telah ditarik dari Kadipaten Jayakarta. Semua orang Inggris kembali ke loji mereka,” ujar Both.

“Apa latar belakangnya?”\

Both menggeleng.

“Yang terang Inggris menjauhi Kadipaten Jayakarta”

“Seharusnya kamu menelusuri apa latar belakang perpecahan Jayakarta dan Inggris. Kamu bisa memantau perkembangan keadaan melalui Siauw Beng Kong. Bukankah dia menanamkan sebagian modalnya untuk membangun Batavia? Mengapa baru sekarang Inggris melarang benderanya dipakai VOC?”\

“Thomson mengirim surat yang menyatakan VOC tidak boleh memakai bendera Inggris beberapa hari setelah kamu bertolak ke Ambon. Ketika itu saya memberikan jawaban bahwa hal itu bukan persoalan VOC yang ada di Batavia. Bukan pula persoalan EIC yang cabangnya juga di Batavia. Persoalan itu adalah ranah staten generaal dan Ratu Inggris. Namun, mereka tetap memaksa. Melarang VOC menggunakan bendera Inggris.”

“Itu benar. Kita berada di bawah Republik Nederland Serikat. Namun, seharusnya kamu bisa menjajaki sikap Inggris. Mengapa Inggris harus bergabung dengan Kadipaten Jayakarta? Pertempuran Inggris dengan Belanda terjadi di Banda, namun mengapa permasalahan itu harus dibawa ke Batavia? Mengapa wawasanmu terlalu sempit, Both?”

“Apakah gubernur jenderal memberikan mandat kepada saya untuk berunding dengan Inggris? Gubenur jenderal hanya memberikan wewenang kepada saya untuk mempertahankan Batavia dari serangan persekutuan Inggris dan Jayakarta.”

“Ah, Both.”

Coen memberi perintah kepada pimpinan kapal agar naik ke bastion Diamond. Dari bastion itu Batavia tampak jelas. Rakyat Jayakarta agaknya telah siap menunggu serbuan kompeni. Coen memberikan petunjuk bahwa kapal-kapal harus mengepung Jayakarta dari Ciliwung. Ribuan serdadu akan didaratkan dari sebelah barat loji Inggris. Inggris menunjukkan sikap netral. Tidak membantu Jayakarta. Tanda serbuan akan diberikan dari bastion Diamond berupa tembakan meriam dua kali. Coen memberikan brifing singkat. Baik pimpinan kapal maupun komandan serdadu yang akan menyerbu dari darat diminta memahami benar tugasnya.

“Inggris sudah berkhianat. Dia yang membujuk Jayakarta agar melawan kompeni. Sekarang dia malah mundur. Kompeni telah melakukan pengepungan. Orang-orang pribumi akan dibantai,” kata Pangeran Wijayakrama. Ia naik kuda memantau persiapan yang dilakukan kompeni. Di belakangnya berjalan kuda yang dinaiki Patih Kasahidana.

“Pangeran, kekuatan antara kompeni dan kita tidak seimbang. Rakyat Jayakarta bisa mati semua. Jika Belanda mulai memuntahkan peluru meriam, korban di pihak kita tentu banyak. Meninggal maupun luka-luka. Rumah-rumah penduduk akan rusak. Namun, di pihak Belanda tidak akan ada yang menjadi korban. Karena mereka bertempur dari kapal-kapal,” ujar Patih Kasahidana.

Pangeran Wijayakrama memacu kudanya menuju ke loji Inggris. Kompeni terus menempatkan kapal-kapalnya. Para serdadu yang akan menyerbu dari darat berkumpul di Port Jakarta. Pangeran Wijayakrama telah sampai di loji Inggris. Bersama sang patih dia langsung masuk ke loji. Mereka menemui Thompson.

“Bagaimana, tuan? Apakah Inggris akan diam saja menghadapi ancaman kompeni. Tuan perlu mengingat-ingat bahwa Inggrislah yang pertama kali mengajak Jayakarta menyerang kompeni,” gugat Pangeran Wijayakrama.

“Persoalannya bukan itu, tuan pangeran. Persoalan itu sudah jelas, Tidak perlu diperdebatkan. Soal yang masih kita bicarakan adalah tentang pembagian barang rampasan. Inggris tidak mau diperalat. Dipakai Kadipaten Jayakarta untuk menyerang kompeni. Sementara Kadipaten Jayakarta menguasai semua barang rampasan, Inggris dapat apa? Kami hanya gigit jari. Inggris tidak mau diperlakukan seperti itu.”

“Bukankah benteng tuan di Pulau Banda direbut kompeni? Bukankah tuan telah bertekad untuk bertempur melawan kompeni? Mengapa kini tuan menjadi pengecut? Mengapa tuan…”

“Jangan bicara soal-soal lain, tuan. Saya hanya menunggu keputusan tuan untuk membicarakan pembagian barang rampasan.”

“Kalau begitu Inggris hanya mau mengadu Jayakarta dengan kompeni!” bentak Pangeran Wijayakrama. “Tuan punya siasat licik. Tuan bukan seorang yang jantan. Tuan cuma ingin menjerumuskan Jayakarta!”

Pangeran Wijayakrama melampiaskan kemarahannya kepada Thompson. Namun, Thompson hanya menatap tingkah laku Adipati Jayakarta itu. Dia bergeming dari tempat duduknya. Pengawalnya masuk. Melaporkan bahwa Gubernur Jenderal VOC akan bertemu.

“Suruh dia masuk,” kata Thompson tanpa perubahan perasaan.

Coen menyampaikan tabik. Dia ingin berbicara dengan Thompson empat mata. Tanpa memberi tahu Pangeran Wijayakrama, Coen diajak ke ruang lain. Coen meminta ketegasan Inggris. Apakah Inggris akan bersikap netral atau mau membantu Jayakarta? Thompson pun memberikan jawaban tegas bahwa soal benteng Inggris yang diserang kompeni di Banda belum selesai. Namu, Inggris tidak akan membawa sengketa itu ke Batavia. Jawaban itu memberikan jaminan kepada Coen bahwa Inggris lepas tangan dalam perselisihan Belanda dan Jayakarta.

Pangeran Wijayakrama yang masih marah itu curiga. Dia mengira bahwa Belanda dan Inggris sedang merencanakan persekongkolan jahat. Adipati Jayakarta memberikan isyarat kepada sang patih agar nguping pembicaraan Coen dan Thompson. Patih Kasahidana mengangguk. Ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu ruangan tempat berunding. Namun, ia hanya geleng-geleng kepala.

“Bahasanya susah. Sulit dimengerti,” bisik sang patih.

Memang, Coen dan Thompson berbicara dalam bahasa Latin. Bahasa yang biasa dipergunakan sebagai bahasa antarbangsa di Eropa.

Sebentar kemudian tampak Coen dan Thompson keluar ruangan. Pangeran Wijayakrama memelototi mereka. Dia sangat geram.

“Kalian berdua penjahat. Kalian mau merampas Jayakarta. Kalian sengaja mengadakan persekongkolan untuk menghancurkan Jayakarta.”

Coen dan Thompson saling pandang. Tersenyum sinis.

“Kita telah berada di ambang pertempuran, tuan adipati,” kata Coen tenang. “Saya harap tuan kembali ke kadipaten agar bisa memimpin rakyat Jayakarta untuk menghadapi kami.”

“Apa? Kalau berani Belanda jangan menggunakan meriam dan bedil. Ayo kita bertempur di alun-alun satu lawan satu,” Adipati Jayakarta masih tegang.

“Kami mau menggunakan bedil atau tidak itu bukan urusan tuan. Tuan tidak bisa memaksakan kehendak kepada kami,” jawab Coen.

“Persoalan Jayakarta dengan Inggris selesai. Baiknya persoalan tuan dengan dengan kompeni dibicarakan di lain tempat saja,” kata Thompson setengah mengusir.

“Persoalan sesungguhnya menyangkut konflik antara Inggris dan kompeni. Inggris yang membujuk Jayakarta untuk membantu menyerang Batavia. Jayakarta sendiri sesungguhnya tidak ada niat untuk berperang.” bantah Pangeran Wijayakrama.

“Mengapa tuan membalik?” tanya Coen.

“Saya ini orang Timur. Saya biasa berkata sejujurnya. Yang membujuk rakyat Jayakarta menyerang kompeni adalah Inggris. Sekarang terserah kepada Inggris, apakah Inggris jadi perang dengan kompeni atau tidak.”

“Tuan lihat sendiri. Inggris tidak memiliki niat untuk berperang melawan kompeni. Namun, sebaliknya tuan saksikan. Rakyat tuan, rakyat Kadipaten Jayakarta, sudah siap bertempur.”\

“Saya bukan pengecut. Namun, saya harus berkata jujur. Bahwa rakyat saya dihasut Inggris agar menyerang kompeni. Saya tidak mau Inggris ngibul. Inggris menejurumuskan rakyat saya untuk dibamtai kompeni. Rakyat kami tidak akan bisa membalas. Karena kami tidak punya bedil dan meriam. Sedangkan kompeni bisa dengan bebasnya membunuh. Kami tidak mau berperang dengan kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang. Karena yang memulai Inggris. Silakan tuan menantang orang Inggris. Kalau Inggris bersedia berperang, kami pun juga siap. Namun, kalau Inggris membatalkan, kami juga tidak ingin berperang!” kata Adipati Jayakarta dengan wajah memerah. Ia merasa ditipu Thompson.

Konangan

Coen merasa mendapatkan kemenangan besar mendengar jawaban itu. Dia pun meneruskan tekanannya kepada Pangeran Wijayakrama.

“Kalau begitu tuan harus mengaku kalah,” ucapnya tenang. “Tuan harus membuat perjanjian tidak akan menyerang kompeni. Tuan harus mengganti seluruh kerugian kompeni. Akibat tuan mengancam Batavia, kompeni rugi besar. Kompeni terpaksa mengerahkan seluruh kapalnya dari Ambon. Kompeni terpaksa menghentikan perdagangan. Ini semua mengakibatkan kompeni menderita kerugian besar. Kerugian yang dapat membawa kompeni gulung tikar!”, kata Coen dengan nada berat. “Untuk mengganti seluruh kerugian kompeni, tuan harus menyerahkan Kota Batavia.”

Pangeran Wijayakrama terperangah mendengar ucapan itu. Ia seakan tidak percaya kepada ucapan Coen.

“Mengapa kompeni selalu berpikir untuk kepentingannya sendiri? Mengapa tak sedikit pun memikirkan orang lain? Seakan kompeni tidak mau ingat ketika mereka mendapatkan kesulitan. Betapa banyak orang Belanda minta bantuan kepada Kadipaten Jayakarta ketika pertama kali datang. Betapa banyak utang kompeni yang belum dibayar? Apakah itu tidak tuan pikirkan?” kata Pangeran Wijayakrama.

Coen diam. Kata-kata yang diucapkan Pangeran Wijayakrama tidak memiliki arti sedikit pun baginya. Tidak menyentuh perasaannya sama sekali.

“Kalau sudah begini, bagaimana sikap Inggris?” ujar Pangeran Wijayakrama menatap Thompson. Namun, seperti Coen, Thompson tidak ikut larut dalam kegusaran seperti Adipati Jayakarta itu.

“Apakah jawaban saya tadi kurang jelas? Inggris tidak mau berperang”, tandas Thompson.

Pangeran Wijayakrama memuncak kemarahannya. Tangannya memukul meja.

“Kalian semua biadab. Orang kulit putih biadab! Kalian menipu kami! Kalian sewenang-wenang!”

Pangeran Wijayakrama mengangkat kaki, ingin pergi dari tempat itu. Namun, Coen mencegah. Dia memperingatkan bahwa Kadipaten Jayakarta telah dikepung. Kalau Pangeran Wijayakrama tidak membuat perjanjian, peperangan akan pecah.

Pangeran Wijayakrama terpaksa duduk. Ia merasa sangat tertekan. Rakyat Jayakarta sudah siap berperang. Ia sendiri siap melawan kompeni. Namun, ia tahu, perlawanan itu tidak ada gunanya. Kalau sampai peperangan terjadi, orang pribumi ibarat seperti sulung masuk api. Hanya bisa pasrah untuk dibantai. Dibunuh dengan tembakan jarak jauh, dengan bedil dan meriam. Tangannya sebenarnya tidak rela ketika Pangeran Wijayakrama membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian. Mulai tahun 1619, Belanda mendapatkan pancangan kaki untuk melakukan penjajahan. Secuil tanah Jawa, tanah yang terletak di bagian timur Sungai Ciliwung, mulai menjadi jajahan kompeni.

Para serdadu kompeni yang mengepung Kadipaten Jayakarta pun ditarik mundur. Mereka bersorak-sorak merasa mendapat kemenangan. Teriakan mereka disambut caci maki orang-orang Jayakarta. Orang-orang Jayakarta menganggap Inggris bersekongkol dengan kompeni. Inggris benar-benar penipu. Pura-pura berlagak membela Jayakarta. Namun, ketika senjata mereka diperlukan, Inggris justru berbalik menjatuhkan Jayakarta.

Pangeran Wijayakrama sedih ketika kembali ke Kadipaten Jayakarta. Wajahnya sangat muram. Jantungnya seperti diremas-remas. Kompeni dan Inggris sama-sama curang. Ia berharap suatu ketika bisa membalas kebiadaban mereka.

Namun, Coen sendiri sebenarnya menyimpan kekhawatiran di dalam hatinya. Ia tahu, Kadipaten Jayakarta milik Mataram. Meskipun Banten juga mengaku Jayakarta sebagai salah satu kadipatennya. Ada kemungkinan bahwa kedua kesultanan itu menyerang Batavia. Ancaman bahaya yang dihadapi makin besar setelah dia ingat bahwa kompeni konangan membuat benteng di Jepara. Apakah Mataram akan diam dan membiarkan kapal-kapal VOC menghantam Jepara? Coen merasa terjepit sendirian.

* Artikel ini telah dibaca 436 kali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *