Home > EDITOR'S CHOICE > Media Sosial, Reuni Dan Bhineka Tunggal Ika

Media Sosial, Reuni Dan Bhineka Tunggal Ika

Dua tahun sudah saya menjadi anggota sebuah WA Group (WAG) yang awalnya hanya memiliki kurang dari sepuluh anggota dan hanya satu atau dua orang yang sekitar 40 tahun lebih lalu yang saya kenal dan ingat sebagai teman-teman main serta sekolah yang tinggal sekampung, di kawasan kampung Pringgading Kota Solo.

Sebelumnya saat baru menjadi anggota group WA itu saya mencoba menanyakan WAG siapa itu, dan siapa yang menjadi admin serta tetuanya, sekedar kehati-hatian saya yang berkarier di bidang Ilmu Komunikasi. Kala itu sekitar Agustus 2016 setelah Lebaran dan mulailah berkomunikasi, melepas rindu dan bertukar foto tatkala anak-anak, hingga yang teraktual.

Pelan, namun pasti anggota WAG yang secara kesepakatan akhirnya diberi nama Pringgodani sebagai nama beken dari Kampung Pringgading di Kota Solo itu dn terus bertambah anggotanya, bahkan kini yang aktif lebih dari 50 orang anggota.

Ide pun, muncul untuk melakukan reuni dengan tema Temu Kangen Pringgodani (TKP) I, yang pertama kali digelar pada 30 Desember 2016, kemudian disepakati sebagai hari serta tanggal pertemuan tahun-tahun berikutnya, hingga disusul TKP II yang diselenggarakan 30 Desember 2017, termasuk disepakati diadakan di kampung kelahiran Pringgading Solo, yang kebetulan ada satu anggota group yang memiliki Gedung Pertemuan Atina Graha.

Semula TKP I dihadiri sekitar 60 orang, kemudian bertambah pada TKP II yang hadir mencapai sebanyak 145 orang, semuanya pernah lahir dan tinggal di kampung Pringgading Solo.

Yang menarik, mereka yang datang  pada TKP II itu ada yang berasal dari Kalimantan, Bali, Riau, Jakarta, serta di berbagai kota lainnya.

Peristiwa temu kangen yang sangat mengesankan itu, tidak lepas dari media sosial (Medsos) WA yang fungsi maupun manfaatnya luar biasa, meski akhir-akhir ini banyak disalahgunakan, namun, ternyata banyak pula manfaatnya, di antaranya menyambung silaturahmi yang telah puluhan tahun terputus.

Melihat yang aktif di WAG itu dan yang datang mulai umur 78 tahun hingga yang termuda 30-an tahun yang berasal dari berbagai etnis, suku, agama, kepercayaan, budaya, jenis pekerjaan, sehingga tepatlah tema yang dipilih di TKP II “ Berteman selamanya dalam suasana kebersamaan dalam kebhinekaan”.

Tampaknya kegiatan serupa yang akhir-akhir ini makin banyak dilakukan oleh berbagai kalangan di berbagai tempat, akan mampu mengingatkan kita Ke Indonesiaan yang telah dirintis sejak 28 Oktober 1928, yang sekarang ini terkesan mulai terabaikan.

Kesan semakin tipisnya kegotongroyongan tertepis sudah, karena dalam TKP II Pringgodani mampu menghimpun dana puluhan juta secara spontan dan sukarela, sehingga acara tersebut terselenggara dengan baik, sederhana, namun meriah dan penuh kekeluargaan.

Tia AFI Berjoget Bersama Anggota WAG Pringgading Solo

Pada WAG pun disepakati hanya dipakai sebagai ajang silaturahmi, serta menghindari berbagi informasi berbau SARA, melanggar etika, serta politik praktis, dan yang melanggar harus mau ditegur dengan penuh etika, tanpa menyakitkan hati satu dengan lainnya. Intinya, komunikasi yang etis dan emphatik lah yang tersepakati.

Bahkan yang menarik dalam TKP II, juga dihadiri sekaligus dihibur oleh seorang selebrities, aktris penyanyi terkenal Tia AFI, yang juga lahir dan besar di Pringgading, yang ke dua orang tuanya pemusik dan lahir serta besar di Pringgading pula.

Dalam Group ini, tentu peran sesepuh penggerak sekaligus perintis utama sangat diperlukan. Demikian pula dengan mereka yang sampai saat ini masih tinggal di Pringgading dan sekitar Solo.

Suasana cair, gembira, ceria, bahkan adakalanya bermunculan sendar gerau, canda yang mengundang tawa serta  saling bertukar pengalaman, hingga berbagai hiburan yang sehat dan mengakrapkan pun secara spontan muncul dari kegiatan tersebut.

Pada iIntinya, setiap orang yang ada baik di WAG Pringgodani, Banteng Pringgodani ( yang lebih yunior) akhirnya saling mengisi dan sepakat di TKP III tahun depan akan dijadikan satu dengan penuh kemeriahan, persahabatan, serta berbagai kegiatan sosial yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Masihkan berbagai kegiatan reuni yang saat ini semakin marak dan mengakrabkan suasana bisa terus berjalan baik?. Tidakkah WAG atau pun group-group lain sedikit banyak akan mampu menjadi perisai terhadap penyalahgunaan medsos yang akhir-akhir ini makin meresahkan masyarakat?.

Peran Pemrakarsa

Bila akhir-akhir ini banyak yang mengeluhkan disalahgunakannya medsos, termasuk penggunakan WAG dan sejenisnya, sebenarnya hal itu bisa diatasi, bila di dalam group tersebut ada yang disegani. Bisa berupa senior pemrakarsa, atau pun anggota yang oleh anggota lainnya berdasarkan pesan komunikasi serta hiburan yang dibagikan dianggap mampu menjadi tauladan.

Tidak dipungkiri memang, dengan medsos seorang tiba-tiba bisa menjadi penyanyi melalui aplikasi smule misalnya. Demikian pula seolah menjadi wartawan, pengamat, guru, bahkan ustad hanya dengan modal copy paste dengan amat mudahnya. Tidak kalah dampak negatifnya pula, memposting berbagai gambar baik status atau pun bergerak yang bernada pornografi serta pornoaksi, yang jelas kurang mendidik.

Menghadapi ketidakfahaman pengguna terhadap dampak medsos sebagai media massa dengan kekuatan utamanya melipatgandakan pengetahuan, kita bisa membayangkan bila yang disebar info atau hiburan yang bermanfaat, atau sebaliknya, karenanya, peran tetua, serta anggota yang melek media sangatlah berguna.

Contoh kecil dan nyata di WAG Pringgodani dan Banteng Pringgodani, meski kadang ada yang iseng mungkin karena kekurangtahuannya, atau keinginannya tampil di depan sesuai sifat manusianya, selalu akan ada anggota lain atau pun senior-senior yang menegurnya, dan maaf memafkan pun terjadi sekitika.

Ketidak sakitan hati serta guyupnya WAG tersebut dapat dibuktikan di antaranya selama hampir dua tahun,  tidak ada anggota yang ke luar atau dikeluarkan, bahkan semakin hari anggotanya makin banyak, sehingga silaturahmi  makin intens.

Tidak adanya sekat baik antar agama, politik, jenis, pekerjaan, bahkan suku serta etnis, seolah lebur baik melalui WAG, atau secara riil terjadi dalam TKP I dan II. Kemampuan internet sebagai ajang komunikasi pararasional pun terjadi.  Contoh kongkritnya Tia AFI mau datang dan nyanyi memuaskan para seniornya, tanpa dibayar, hanya sekedar menikmati bersama hidangan wedang ronde, bakso, nasi liwet serta sate kere.

Dalam TKP I dan II, sekat-sekat antara yang kaya dengan yang miskin pun sama sekali tidak tampak, semua membaur, sembari bernostalgia, menari, bernyanyi serta bercengkerama bersama seolah melupakan kepenatan hidup yang mereka alami. Waktu yang dipilih dekat dengan pergantian tahun pun menjadi momentum yang sangat tepat, sehingga tahun ke tahun pesertanya akan makin bertambah, serta silaturahmi makin terjalin.

Akhirnya, kita semua tentu berharap, miniatur TKP yang didahului oleh WAG akan mampu menjadi contoh dan menyadarkan para elit yang sedang bertikai berebut jabatan akhir-akhir ini, ditengah sesungguhnya rakyat akar rumput itu rindu kebhinekaan, kedamaian serta kebersamaan yang abadi.

* Artikel ini telah dibaca 369 kali.
Gunawan Witjaksana
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. Pengamat komunikasi dan media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *