Home > EDITOR'S CHOICE > Mencari Pemimpin Berkualitas Dalam Pemilukada 2018

Mencari Pemimpin Berkualitas Dalam Pemilukada 2018

Boleh Jadi tahun ini disebut sebagai tahun politik yang diawali dengan hingar-bingar dan menghangatnya kabar politik, bahkan sudah sangat terasa hingga mewarnai halaman depan berbagai media massa, termasuk pendafaran para calon Kepala Daerah yang bakal maju pada Pilkada Juni 2018 mendatang.

Pada 10 Januari 2018 ini.  Pemilu  Kepala Daerah (Pemilukada) serentak akan digelar di  171 daerah  meliputi dari 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten di seluruh wilayah Indonesia.   Pilkada serentak 2018 akan lebih besar dibanding Pilkada yang digelar sebelumnya 2017.

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Pemilukada adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh penduduk daerah setempat, terutama mereka yang memenuhi syarat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Sebelum 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilukada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Kemudian pada 2014, DPR berupaya akan mengubah kembalu dengan mengajukan Pemilukada dipilih oleh DPRD, sehingga harus digelar Sidang Paripurna DRI-RI pada 24 September 2014 yang akhirnya memutuskan Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.

Bahkan Komisi II DPR RI dan Pemerintah menyepakati pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak dilakukan dalam beberapa gelombang mulai Desember 2015.

Dari dipilih oleh rakyat maka kembali lagi dipilih oleh DPRD, tentunya mengakibatkan pro dan kontra bagi rakyat Indonesia. Pro dan kontra masih terus berlanjut, Pemerintah pun yakin jadwal Pemilukada serentak nasional sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan keputusan DPR serta kabinet baru yang terpilih pada Pemilu Legislatif 2019.

Undang-Undang yang mengatur  tentang Pemilukada 2018 dan Pemilu  serentak 2019 adalah undang-undang  (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan dan 4 lampiran. Ditegaskan dalam UU ini, Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Bahkan dalam menyelenggarakan Pemilu, penyelenggara harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud serta penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka;  g. proporsional; h. profesional; i. akuntabel; j. efektif; dan k. efisien.

Menurut UU ini, peserta Pemilu untuk Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, adalah partai politik, yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).  Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Dalam undang-undang ini menentukan ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold), sebesar 20% dari kursi DPR, atau 25% suara sah nasional, sehingga partai politik dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden jika menduduki setidaknya 20% kursi DPR. Dalam UU tersebut tidak mengubah Sistem multi partai dalam pemilu di Indonesia, sehingga  masih berkonsekuensi membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu.

Hal ini wajar, karena pasca reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru diluar tiga partai politik yang hidup pada era Orde Baru. Namun demikian, pembatasan partai politik peserta Pemilu perlu dilakukan untuk memperkuat dan memperdalam demokrasi.

 Evaluasi Demokrasi

 Pilkada kali ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi tidak hanya pelaksanaan prosedural demokrasi, tetapi juga makna yang ada di dalam konsep demokrasi. Seperti diketahui, secara positif, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dalam pengertian sederhana berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Namun, demokrasi dapat juga didefinisikan secara negatif dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat (Dan Nimmo,2005),  yang berarti bukan pemerintahan oleh penguasa tunggal (monarki), bukan atas dasar keturunan dan status (aristokrasi), bukan oleh segelintir orang (oligarki), bukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu (teokrasi), dan terakhir bukan oleh segelintir orang yang memerintah dengan kekerasan (otoritarianisme).

Apakah kemudian demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang sempurna?. Apakah demokrasi di Indonesia semakin baik atau justru semakin mundur?. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan ribuan tahun yang telah dipikirkan oleh para ahli filsafat seperti Plato. Ada banyak persoalan metodologi untuk mengevaluasi jalannya demokrasi.

Mekanisme demokrasi yang baik ternyata juga tidak serta-merta menghasilkan pejabat publik yang baik pula, baik yang berada di wilayah  eksekutif maupun legeslatif, sehingga  bisa menimbulkan rasa trauma para pemilih. Sebagai contoh, dalam pemilihan beberapa tahun yang lalu, masyarakat harus memilih calon yang tidak mereka kenal. Masyarakat merasa ”dipaksa” untuk berpartisipasi dalam Pemilu.

Dalam Pilkada serentak kali ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi dalam sistem demokrasi. Rasa kecewa sebagai masyarakat tentu tidak dapat dipulihkan dengan segera, namun, tidak menggunakan hak pada hari ini untuk memilih calon pasangan yang tersedia juga tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

Paling tidak,  rakyat dapat menghukum untuk tidak memilih calon pasangan dari partai yang bermasalah dan partai yang jelas tidak mendorong demokrasi ke arah yang lebih baik. Di sisi lain, para politisi harus menyadari kekecewaan masyarakat dapat menjadi dorongan tumbuhnya aliran radikal, baik ekstrem kanan maupun kiri.

Kita juga harus ingat demokrasi tidak berhenti di tempat pemungutan suara, tetapi terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita harus terus mengawalnya dalam segala bentuk partisipasi yang dapat dilakukan. Apa yang akan terjadi pada 2018 ini adalah pengantar untuk memasuki tahun politik 2019. Dengan 171 Pilkada, disusul dengan perekrutan politik partai-partai untuk pendaftaran caleg pusat, lalu pasti ada kerumunan tim sukses (Timses) pemilihan Presiden.

Menekan Kecurangan

Salah satu dampak Pemilukada itu tentu juga akan  bertalian dengan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemiluMenurut  Susan Hyde, dkk (2008) dalam Election Fraud: Detecting and Deterring Electoral Manipulation menyebutkan persoalan utama dalam Pemilu adalah mengenali dan mencegah terjadinya fenomena electoral fraud, election manipulation, atau vote rigging;  suatu kecurangan pemilu yang terjadi karena intervensi atau campur tangan secara ilegal terhadap proses penyelenggaraan Pemilu.

Tindakan ini berdampak pada penghitungan suara yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu, baik meningkatkan hasil suara, mengurangi atau keduanya pada kandidat tertentu. Namun, tindakan legal yang secara moral tidak dapat diterima, tidak mencerminkan semangat dalam aturan kepemiluan, dan bertentangan dengan prinsip demokrasi termasuk dalam kategori “electoral fraud“.

Hyde mengidentifikasi electoral fraud/kecurangan pemilu meliputi: 1). Manipulasi pemilih (manipulasi demografi, penghilangan hak pilih, memecah dukungan oposisi),  2). Intimidasi, 3). Jual beli suara, 4). Penyesatan informasi,6). Coblos ganda, 7). Manipulasi dalam rekapitulas, 8). Penggunaan pemilih semu, 9). Merusak kertas suara, 10). Pembajakan sistem teknologi informasi dalam pemungutan suara, 11). Pembajakan hak pilih,  12). Manipulasi hasil rekapitulasi suara.

Baik pada  Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019 harus menjadi pembelajaran penting, karena sesungguhnya apabila rakyat salah pilih orang, maka yang sedang terjadi bukan prinsip perubahan sosial dalam konteks masyarakat sipil. Bahkan yang terjadi sesungguhnya hanyalah barter, atau hadiah, atau kalau lebih tegas  lagi, “pemanis untuk membungkam representasi dari masyarakat sipil” sebagai hadiah atas energi dan upayanya dalam  memenangkan kandidat. Itu berlaku untuk siapa pun yang kelak memenangi kontestasi Pemilu berupa perebutan kekuasaan.

Pada dasarnya, ketika yang diberi hadiah oleh rezim adalah bukan orang yang tepat, bukan lembaga yang tepat, bukan pula warga negara yang tepat,  karena hadiah itu untuk orang  berupa jabatan, bukan agenda perubahan sosial, bukan kebijakan dan program yang pro rakyat, dan itulah kenyataan yang terjadi berulang di setiap Pemilu

Tidak menutup kemungkinan yang pasti bakal terjadi lagi dan perebutan serta pencaplokan sumber daya alam dimana pun, sementara kebijakan pro-rakyat,  petani dan buruh nihil. Akankah begitu terus, rakyat semua yang akan ikut menentukan.

 

Oleh: Suryanto,S.Sos.M.Si
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang)
* Artikel ini telah dibaca 287 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *