Suhu politik 2018 mulai menghangat menjelang perhelatan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar diberbagai daerah pada 27 Juni mendatang, hingga tidak mengherankan jika tahun ini disebut sebagai tahun politik.
Hingar-bingar dan semakin ramai kabar hangat belakangan ini di berbagai media massa, termasuk deadline pendafaran Pasangan Calon Kepala Daerah 2018 di KPU, bahkan Pilkada akan digelar di 171 daerah meliputi 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten di seluruh wilayah Indonesia. Pilkada serentak yang digelar 2018 akan lebih besar dibanding Pilkada sebelumnya.
Publik kembali diuji untuk memilih Kepala Daerah yang dapat membawa perubahan lebih baik, meski dibalik berbagai pertentangan, keriuhan dan kemeriahan, Pilkada semakin menjadi wadah pembelajaran demokrasi publik.
Pilkada serentak hadir sebagai sarana untuk menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Setidaknya Pilkada sebagai upaya untuk menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang efisien dan efektif. Derajat keterwakilan antara masyarakat dan Kepala Daerahnya juga diharapkan dapat meningkat. Selain diharapkan juga tercipta birokrasi Pemerintahan Daerah yang efektif serta efisien.
Pada 2015 merupakan kali pertama diselenggarakannya Pilkada serentak dalam cakupan nasional. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercatat dari 269 daerah yang menggelar Pilkada serentak dua tahun lalu, terdapat 827 Pasangan Calon (Paslon) yang bertarung atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah sebanyak itu, tercatat sebanyak 690 Paslon maju dari jalur partai politik dan 137 pasang calon lainnya dari jalur perseorangan.
Dibandingkan dengan Pilkada 2010, jumlah seluruh Pslon yang berlaga itu jauh lebih rendah. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan pada Pilkada 2010 terdapat1.083 Paslon bertarung di 244 daerah dengan rata-rata 4,5 pasang calon per daerah.
Sementara 2017, jumlah daerah yang menyelenggarakan Pilkada relatif lebih sedikit dibandingkan 2015 dan hanya 101 daerah dengan jumlah pasangan calon yang berkontestasi sebanyak 310 pasangan atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah sebanyak itu, tercatat 242 pasangan calon di antaranya maju diusung partai politik dan sisanya 68 pasangan calon dari jalur perseorangan.
Pada 2018 ini terdapat 171 wilayah dengan jumlah pasangan calon berlaga lebih dari enam pasangan calon. Dengan konfigurasi jumlah calon yang berlaga di ajang Pilkada terus berubah, bagaimana publik menyikapi peristiwa Pilkada serentak kedua yang akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan?.
Evaluasi dan sosialisasi
Selama ini yang menjadi pemasalahan dengan Pemilukada langsung sebelumnya di antaranya tingginya cost yang harus dikeluarkan setiap pasangan calon, terutama karena harus melakukan kampaye terbuka, sehingga bisa diubah menjadi kampaye tertutup dan bersifat dialogis, selain juga bisa dilakukan dengan menggelar Pemilukda secara serentak akan dapat mengurangi anggaran yang membebani APBD.
Boleh jadi, yang lebih penting untuk kasus politik uang, sudah seharusnya Makamah Konstitusi (MK) bisa membatalkan kemenangan pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang. Namun, selama ini lebih pada pembuktian yang harus bersifat masiv, terstruktur dan sistematis, sehingga sangat mustahil untuk melakukan pembatalan kemenangan pasangan calon terpilih.
Bahkan dalam banyak kasus persengketaan Pemilukda umumnya MK hanya memerintahkan untuk Pemilukada ulang di daerah tertentu, sehingga perlu terobosan hukum dalam hal pembuktian dan pembatalan calon Kepala Daerah yang melakukan politik uang.
Demikian juga keterlibatan Kepala Daerah terpilih dalam melakukan mobilisasi PNS semestinya bisa berbuntut pembatalan kemenangan pasangan calon. Sementara untuk yang sifatnya ketidak netralan penyelenggara Pemilukada, baik KPUD dan Panwas, sudah seharusnya diberikan sanksi hukum yang berat berupa pemecatan dan sanksi pidana, sebagai upaya preventif dan efek jera bagi para penyelenggara, agar bisa bersikap netral serta tidak memihak pada salah satu pasangan calon.
Berkaca dari penyelenggaraan Pilkada sebelumnya, persiapan Pilkada serentak 2018 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik. Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses Pilkada. Pesta demokrasi lokal itu sudah seharusnya menjadi jembatan emas bagi masyarakat untuk mewujudkan daerahnya menjadi lebih baik. Pilkada kali ini adalah sebuah ujian bagi beberapa asumsi yang mendasari kebijakan Pilkada dilakukan secara serentak bisa berlangsung sportif, tertib dan aman.
Kondisi itu, bisa terwujud bila masyarakat yang mempunyai hak pilih tepat memilih pemimpinnya. Sebaliknya jika salah, masyarakat sama saja mempertaruhkan masa depan daerah dan dirinya sendiri. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi masyarakat untuk menjadikan Pilkada 2018 sebagai momen memilih pemimpin terbaik.
Masyarakat harus memilih calon yang diyakini memiliki integritas dan kompetensi untuk membangun, bahkan bisa memberikan solusi bagi daerahnya. Pemilihan figur pemimpin dengan kualifikasi seperti itu penting dilakukan untuk menjamin kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Dengan memilih figur pemimpin yang tepat, kita yakin masyarakat Indonesia akan hidup lebih baik dan sejahtera.
Pasalnya, satu suara akan menentukan nasib daerahnya lima tahun ke depan. Jangan sampai salah dalam menggunakan hak pilihnya, karena sekali kita salah pilih, nasib lima tahun ke depan kita menyesal, sehingga ini penting sekali.
Realitasnya, tidak sedikit para kandidat yang bertarung menjadikan kompetisi ini sebagai pertarungan uang yang hanya akan menjadikan masyarakat sebagai objek politik uang. Sebaliknya, masyarakat tak tergiur dengan politik uang karena justru hal itu yang akan menjadikan pemimpin yang dipilihnya terjerat dalam masalah korupsi.
Dengan demikian, sudah seharusnya kita tidak menjual kedaulatan dan masa depan rakyat, karena bakal merusak demokrasi yang sedang kita bangun selama ini. Mari gunakan hak pilih secara baik dan bertanggung jawab, dengan menggunakan pertimbangan memilih dengan nurani dan memilih menggunakan akal sehat.
Langkah upaya ini penting agar Pilkada bisa menghasilkan pemimpin terbaik, mengingat adakalanya bisa saja terjadi money politic yang seharusnya tidak menjadi dasar kita memilih seseorang. Gunakan kebebasan hak pilih dengan maksimal, jangan tertekan oleh iming-iming apa pun.
Dengan harapan ajang Pilkada serentak bisa makin mematangkan demokrasi dan menghasilkan sosok pemimpin yang sesuai harapan masyarakat. Untuk dapat memilih calon kepala daerah yang membawa perubahan yang lebih baik, sekiranya para pemilih perlu mempertimbangkan pilihannya dengan pikiran yang cerdas dan akal pikiran yang jernih.
Harapan
Pilkada serentak yang segera digelar kembali akan menguji kemampuan publik memilih Kepala Daerah secara demokratis, di antaranya terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas Kepala Daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan kelompok atau etnis tertentu.
Patut dicermati dari para calon Kepala Daerah adalah publik berharap pelaksanaan Pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala Daerah terpilih ke depan diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah, memperbaiki infrastruktur dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi.
Keinginan publik mendapatkan Kepala Daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional primordial ataupun memperteguh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya.
Sanksi parpol dan kandidat bermasalah
Pemilihan Kepala Daerah serentak juga merupakan (momentum) yang tepat bagi rakyat untuk menghukum partai politik bermasalah. Paling tidak, rakyat dapat menghukum untuk tidak memilih pasangan calon dari parpol yang bermasalah dan partai yang jelas tidak mendorong demokrasi ke arah yang lebih baik. Di lain pihak, para politikus harus menyadari kekecewaan masyarakat dapat menjadi dorongan tumbuhnya aliran radikal, baik ekstrem kanan maupun kiri.
Rasa kecewa itu tidak dapat dipulihkan dengan segera. Kendati demikian, tidak menggunakan hak pilih pada hari-H pencoblosan juga tidak akan menyelesaikan masalah. Pilkada yang digelar di 171 daerah meliputi 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten itu, sekaligus momentum untuk mengevaluasi tidak hanya pelaksanaan prosedural demokrasi, tetapi juga makna yang ada di dalam konsep demokrasi.
Pesta demokrasi Pilkada serentak kali ini ada kesempatan untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi dalam sistem demokrasi di Indonesia. Seperti diketahui secara positif demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dalam pengertian sederhana berarti Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun, demokrasi dapat juga didefinisikan secara negatif dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat. Hal ini berarti bukan Pemerintahan oleh penguasa tunggal (monarki) dan bukan atas dasar keturunan dan status (aristokrasi).
Bukan pula oleh segelintir orang (oligarki), bukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu (teokrasi), dan terakhir bukan oleh segelintir orang yang memerintah dengan kekerasan (otoritarianisme).
Pilkada serentak pada tahun ini harus menjadi pembelajaran penting. Pasalnya, apabila salah pilih orang, yang sedang terjadi bukan prinsip perubahan sosial dalam konteks masyarakat sipil, melainkan yang terjadi sesungguhnya hanyalah barter atau hadiah. Kalau lebih tegas lagi “pemanis untuk membungkam representasi dari masyarakat sipil” sebagai hadiah atas energi dan upayanya dalam memenangkan kandidat. Jadi, masyarakat harus belajar dari semua itu dan masyarakat pula yang akan menentukan nasib bengsa ini ke depan.

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang)