SEMARANG[Kampusnesia] – Memasuki sebuah rumah sederhana di kawasan Kampung Mangkang Wetan, Mangunharjo Kota Semarang terlihat kesibukan para ibu-ibu dengan tekun dan sabar sangat lincah tangannya memainkan canting untuk membuat kerajinan batik.
Tampak ada keunikan para ibu dalam membatik itu, tidak seperti umumnya pembatik-pembatik lain, batik yang dibuat warga Kampung Mangkang Wetan dengan menggunakan bahan baku pewarna dari tanaman mangrove.
Unik memang dan sangat langka membatik dengan bahan baku tanaman yang banyak tumbuh di pesisir pantai itu, sehingga tidak mengherankan jika kini batik produksi para pengrajin ibu-ibu Mangkang Wetan dikenal sebagai batik mangrove dan mulai banyak digemari konsumen.
Batik mangrove yang dibuat dengan pewarna dari baban baku mangrove, hasilnya mampu bersaing dengan batik-batik pada umumnya yang menggunakan pewarna sintetis, begitu juga kualitas tidak kalah dengan batik lainnya.
Haryati seorang ibu berusia 49 tahun merupakan penggagas pengrajin batik mangrove itu dan kini telah tergabung dalam kelompok Batik Alam Wijaya Kusuma di RT 05/RW VI Mangkang Wetan, bahkan menggeluti pembuatan batik sudah tiga tahun lamanya.
Dia menuturkan ide membuat batik mangrove muncul saat melihat sebagian besar warga di Kampung Mangkang Wetan bekerja sebagai petani mangrove, hingga mencobanya untuk menuangkan karya batik dengan bahan baku mangrove.
Ide itu juga didorong kuat dengan tidak memiliki bekal modal untuk membeli cairan pewarna sintetis, sehingga rebusan daun mangrove dicobanya sebagai pengganti pewarna sintetis, Namun, tidak diguga sebelumya ternyata hasilnya sangat cocok dijadikan pewarna.
“Ketika itu, saya tidak memiliki modal cukup untuk membeli pewarna sintetis, sehingga nekad mencoba mangrove sebabai penggantinya dan hasilnya sangat bagus, warnanya kalem dan kainnya mudah menyerap keringat,” tutur ibu berparas cantik itu.
Menurut Haryati, berbagai ragam corak warna batik telah diproduksi, termasuk sesuai keinginan pemesan atau pelanggan. Hampir sebagian besar pelanggan sangat menyukai motif batik bergambar hutan mangrove, yang akhirnya kini menjadi andalan hasil dari para pengrajin batik Kampung yang terletak di ujung pinggiran barat Kota Semarang itu.
“Batik dengan corak hutan mangrove paling banyak diminati para pembeli dan dijual dengan harga Rp100.000 hingga Rp350.000 per potong, meski terbilang mahal, mengingat produksinya selain rumit dan membutuh waktu cukup lama, namun kualitas dijamin bagus,” ujarnya dengan melempar senyum.
Kini batik mangrove semakin digandrungi para penggemar batik, bahkan tidak hanya dari pasar lokal seperti Bangka Belitung, Semarang, Jakarta dan kota lainnya, tetapi juga sudah mulai merambah ke pasar ekspor untuk kebutuhan konsumsen di negara kawasan Eropa di antaranya Italia dan Belanda.
Dari ide dan kerja keras Haryati kini kelompok ibu-ibu pengrajin batik mangrove, bisa memperoleh pendapatan puluhan juta rupiah per bulan dari hasil penjualan produk batik mangrovenya.
Bagi penggemar batik, pedagang maupun buyer bisa datang untuk memesannya sesuai selera dan corak yang disukai, lokasi pusat pengrajin batik magrove itu juga tidak begitui jauh dari pusat Kota Semarang. (Irfandi Ardianto/rs)