PEKALONGAN[Kampusnesia]- Keberhasilan ulama tarekat di Indonesia yang tergabung dalam Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al-Muktabaraoh (Jatman) dalam turut serta menjaga keutuhan NKRI, karena kehati-hatiannya dalam merespon setiap perbedaan yang muncul.
Menteri Agama Kabinet Kerja Drs H. Lukman Hakim Saefudin di depan peserta Muktamar ke-12 Jatman di Pekalongan mengatakan sikap hati-hati dan toleransi atau ikhtiyat wattasammuh seperti itu menjadi ciri khas bangsa Indonesia dalam berkehidupan di masyarakat, dan ulama yang mempelopori serta mengajarkannya kepada masyarakat, sehingga yang disaksikan sekarang ini Jatman tidak hanya bisa menjaga kerukunan 46 aliran tarekat yang ada di Indonesia, tetapi juga memberikan andil dalam menjaga keutuhan NKRI.
“Saya sudah berkeliling ke berbagai negara, jumlah tarekat yang diamalkan oleh umat Islam disana tidak sebanyak di Indonesia, paling banyak 5 – 10 tarekat saja,nah di Indonesia ini empat puluh lebih dan bisa dikumpulkan dalam satu wadah, yaitu Jatman, ini sangat luar biasa,” ujarnya saat ceramah dan berdialog dengan peserta Muktamar ke-12 Jatman di Pekalongan, Senin (15/1).
Tidak sebagaimana di Indonesia, lanjutnya, sebagian ulama tarekat di beberapa negara menghadapi berbagai kesulitan dalam memenerima perbedaan, sehingga yang muncul di permukaan adalah dominasi perbedaan dan pertentangan. Seakan-akan perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan dipelihara serta dibesar-besarkan terus.
Menurutnya, perbedaan dalam merespon perkembangan zaman di kalangan ulama termasuk ulama tarekat sudah ada sejak zaman dulu. Misalnya beda pendapat antara ulama ahlul hadits dan ahlurro’yi sudah lama terjadi, namun kadang-kadang oleh beberapa pihak dipelihara perbedaan itu, sehingga menjadi pertentangan yang tidak terselasaikan.
“Alhamdulillah di Indonesia tidak terjadi yang seperti ini, kalaupun ada perbedaan yang tajam paling berhenti hanya sampai di tingkat elitnya saja, tidak sampai melebar ke tengah masyarakat. Sekali lagi inilah ke-khas-an Indonesia,” tutur Lukman.

Dengan demikian, dia menambahkan energi dan kemampuan para ulama tarekat di Indonesia tidak terkuras untuk membesar-besarkan perbedaan dan mencari pembenaran pendapatnya, tetapi dapat disalurkan ke bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, sosial dan sebagainya sehingga peranannya semakin meluas.
“Tidak berhenti sebagai pembimbing umat dalam menjalankan agama, tetapi sekaligus menjadi panutan dan tempat bertanya oleh umat tentang berbagai persoalan di luar aktivitas keagamaan. Jadi orang luar memandang para ulama tarejat di Indonesia tidak melulu di ruang “sacral” tetapi turun gunung mendampingi umat di tengah masyarakat, ujarnya. (smh)