Home > EDITOR'S CHOICE > Kepiawaian Main Drama Dan Kecerdasan Pemilih

Kepiawaian Main Drama Dan Kecerdasan Pemilih

Seratus hari kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, ada yang memberikan apresiasi, namun banyak pula yang masih mengritik, bahkan mengecamnya. Itu merupakan contoh kenyataan, bagi siapa pun yang akan mencalonkan diri baik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, atau Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada serentak mendatang,bahan pada Pemilu Raya 2019.

Dari sisi komunikasi, siapa pun yang sedang membangun citra untuk tujuan tertentu, selalu akan menggunakan komunikasi persuasif, yang di dalamnya juga melakukan metafora theatrical (drama) untuk meraih simpati  rakyat calon pemilihnya.

Di sisi lain, dalam kondisi masyarakat Indonesia yang rata-rata tingkat pendidikannya masih relatif rendah, sehingga tingkat emosionilnya tinggi, maka merayu mereka melalui action yang meyakinkan disertai dengan janji seolah bak angin Sorga, sering membuat para calon pemilih akhirnya memilihnya.

Catatannya, para pemilih tersebut cepat lupa bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) atau Pemilihan Umum (Pemilu) itu periodenya lima tahun, sehingga ketika calon yang dipilihnya terpilih pun, mereka segera menagih janji, karena lupa bahwa jagonya tersebut bukan ahli sihir yang sim salabim langsung jadi.

Protes kaum buruh di wilayah DKI beberapa waktu lalu yang mengecap Anis-Sandi merupakan Gubernur dan Wakil Gubernur yang paling cepat ingkar janji, terkait janjinya tentang upah buruh, adalah sebuah kenyataan. Celakanya, seolah mereka tidak mau tau bahwa kinerjanya untuk dapat memenuhi janjinya adalah lima tahun. Demikian pula bagi mereka yang puas atau sebaliknya kecewa di masa 100 hari kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut.

Pertanyaannya?, melihat salah satu contoh konkrit tersebut, apakah para calon Kepala Daerah yang akan berlaga di tahun ini masih tetap mengandalkan kepiawaian main drama dengan menjanjikan sesuatu melalui kemenarikan pesan, dengan mengabaikan kejujuran dan etika? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh para calon tersebut agar mereka kelak tidak tersandera oleh janji-janji yang ternyata sulit dilasanakan tersebut ?.

Kondisi Riil Masyarakat

Menurut pengalaman paling sering dilakukan oleh para kandidat adalah mengobral janji yang sangat menarik, dan meyakinkannya melalui permainan drama yang menarik, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya sedang secara nyata dibutuhkan oleh para calon pemilihnya.

Padahal, kebutuhan aktual atau riil calon pemilihnya yang dalam bahasa iklan disebut consumers insight itu sebenarnya sangatlah penting untuk bisa memberikan pesan komunikasi yang cocok bagi mereka, sehingga pesan komunikasi yang disampaikannya tersebut menjadi menarik dan cenderung akan mereka ikuti.

Kita lalu ingat ketika Jokowi-Ahok menang di DKI, saat itu, masyarakat DKI ingin Jakarta Baru.  Demikian juga saat SBY menang di Pilpres 2009, dia gunakan kata perubahan, karena rakyat ingin perubahan dan selanjutnya di tahun 2014 SBY menggunakan kata lanjutkan dan menang, karena saat itu rakyat ingin melanjutkan.

Singkatnya, actual needs (kebutuhan aktual/riil) masyarakat sangat mujarab bila digunakan untuk mempengaruhi calon pemilihnya tanpa terasa, dan hal itu adalah intisari komunikasi persuasif. Sebaliknya kegagalan para kandidat biasanya mereka menggunakan model percieved needs ( kebutuhan calon pemilih atas persepsi kandidat dan timnya), sehingga tidak cocok dengan kebutuhan atau keinginan riil calon pemilihnya.

 Kepiawaian

Kesalahan lain, yang sering menggagalkan para kandidat terpilih adalah kepercayaan diri yang berlebihan, sehingga mereka biasanya langsung tancap gas bersosialisasi serta merayu para calon pemilihnya, tanpa mau tau atau mungkin sok tau kebutuhan riil calon pemilihnya. Kepercayaan diri mereka itu tidak jarang dibarengi dengan keyakinan para kandidat terhadap performance mereka, sehingga dengan yakinnya, dengan ber- acting secara apik menurut pandangannya, para calon pemilihnya akan termehek-mehek dan akhirnya memilihnya kelak.

Kapasitas serta kapabilitas yang sebenarnya mereka miliki sering kalah justru oleh pesan-pesan yang bersifat primordial, serta tradisional paternalistik. Isu-isu sara, penyebaran kebencian, serta politik identitas mereka anggap akan mampu memenangkannya. Padahal ada pepatah ‘negoro mowo toto, deso mowo coro’, artinya perangai serta kharakteristik lokal tdak bisa diabaikan.

Sifat masyarakat wilayah tertentu yang lebih senang dengan calon pemimpin lembah manah misalnya, tidaklah cocok disuguhi model kampanye menghentak, apalagi menyerang.  Belum lagi mudahnya mengakses media serta pesatnya perkembangan teknologi informasi, menyebabkan saat ini para calon pemilih makin cerdas.

Menghadapi kondisi itu, tidaklah cocok bila menyampaikan pesan kampanye yang terkesan sebagai janji yang terlalu muluk dan sulit ditepati nantinya, meski para kandidat dan timnya berupaya meyakinkannya melalui melodrama yang aduhai.

Para calon pemilih yang makin cerdas juga mulai mampu menyaring mana kandidat yang hanya obral janji dan mengabaikan kejujuran dan etika, serta mana kandidat lain yang pesannya sederhana, namun mengandung kejujujuran dan penuh etika, terlebih bila di antara para kontestan ikut pula petahana yang lerlebih bila kinerjanya dinilai berhasil.

Dari sisi komunikasi, kinerja dianggap mampu bergaung lebih nyaring dan mengena, dibanding wacana. Hasil survei yang sering dimasalahkan keakurasiannya, disertai dengan persepsi yang setiap saat bisa berubah, setidaknya bila disandingkan dengan mendengarkan langsung pendapat serta apa yang dirasakan masyarakat, meski untuk keperluan ini diperlukan waktu, tenaga serta finansil yang besar, sangatlah diperlukan. Demi mengetahui kebutuhan serta keinginan riil masyarakat calon pemilih, sehingga pesan yang tepat akan bisa dirancang dan disampaikan.

Kampanye untuk memperoleh dukungan calon pemilih sangatlah penting. Namun, karena kampanye pada hakekatnya adalah proses komunikasi, maka prinsip utamanya kejujuran, menarik perhatian, serta etika tetaplah perlu dijalankan secara berimbang. Apalagi masyarakat yang makin cerdas tentu akan dengan mudahnya mengamati mana yang bersungguh-sungguh atau sebaliknya mana yang sekedar mempertontontokan kepiawaian bermain drama.

* Artikel ini telah dibaca 305 kali.
Gunawan Witjaksana
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. Pengamat komunikasi dan media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *