JAKARTA[Kampusnesia] – Rencana Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menempatkan dua perwira tinggi (Pati) Polri sebagai Pelaksanan Tugas (Plt) Gubernur Sumut dan Jabar, sehubungan dengan diselenggarakannya Pilgub Juni mendatang bakal mengancam dan melemahkan supremasi sipil ke depan.
Kekhawatiran ancaman itu diungkapkan para Ilmuwan Administrasi Negara yang tergabung dalam wadah Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara Untuk Indonesia (AsIAN).
Ketua Umum Pengurus Pusat AsIAN Prof Dr H Hanif Nurcholis M.Si mengatakan kebijakan Mendagri itu, selain mengancam akan memarginalkan supremasi sipil, sekaligus juga menghambat gerakan reformasi dan demokratisasi yang sedang tumbuh serta bersemi di Indonesia.
“Sebaiknya Mendagri mengurungkan rencana itu, sebab kalau dipaksanakan dikawatirkan juga akan menimbulkan berbagai ekses negatif dan memberikan pendidikan politik yang tidak baik terhadap bangsa ini,” tutur Prof Hanif kepada Kampusnesia.com melalui saluran komunikasi di Jakarta, Senin (28/1).
Menurutnya, Mendagri semestinya mengacu UU Pilkada yang menyebutkan untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah saat berlangsungnya Pilkada cukup ditunjuk pelaksana tugas (Plt) dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), jangan melebar kemana-mana.
Tidak dipungkiri memang, lanjutnya, Polisi itu aparat negara tetapi bukan ASN sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 5/2014, bahwa ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada instansi pemerintah dengan jabatan administrasi (administrator, pengawas , pelaksanan), fungsional (ahli utama, ahli madya, ahli muda dan ahli pertama) dan pimpinan tinggi (utama, madya, pratama).
Dalam beberapa hari mendatang , AsIAN akan menunggu dan melihat perkembangan, kalau tidak ada tanda-tanda Pemerintah mengurungkan rencana itu, maka AsIAN akan mengambil sikap dan berkirim surat ke Mendagri agar kembali kepada regulasi yang ada,
Hanif yang juga guru besar ilmu adminstrasi publik Universitas Terbuka (UT) Jakata itu menuturkan selain Polisi tidak termasuk ASN, fungsinya lebih mengarah pada penegakan hukum dan menciptakan ketertiban, keamanan dan ketentraman masyarakat. Fungsi pertama dibawah koordinasi Mahkamah Agung sedang fungsi kedua di bawah Presiden, Gubernur dan Bupati, sehingga Polisi hanya pelaksana bukan pembuat kebijakan.
Kepada para wakil rakyat di Senayan (DPR RI), Prof Hanif mendesak agar segera memanggil Mendagri sekaligus mengingatkan “keanehan” ini untuk memberikan penjelasan atas keluarnya rencana kebijakan itu, sebagai upaya mencegah munculnya rumor di kalangan masyarakat yang negatif.
Langkah itu, dia menambahkan juga sebagai klarifikasi hingga diharapkan tidak menjadi isu liar dan yang sulit dikendalikan.
“Informasi yang berkembang menyebutkan rencana kebijakan Mendagari itu merupakan upaya untuk merampas supremasi sipil dan melemahkan demokratisasi yang sedang berlangsung. Ini tidak boleh terjadi, “ tutur Prof Hanif (smh)