Home > EDITOR'S CHOICE > Pelayanan Publik Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Warga Di Desa Masih Terhalang Oleh Pemeritahan Desa

Pelayanan Publik Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Warga Di Desa Masih Terhalang Oleh Pemeritahan Desa

Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 untuk mencapai tujuan negara ingin memajukan kesejahteraan umum dan mencerdesakan kehidupan bangsa,  telah dibentuk pemerintahan negara Indonesia sebagai instrumen untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta fungsi utama pemerintahan adalah memberikan pelayanan publik kepada citizens (warga negara) yang terdiri atas barang publik dan jasa publik.

Berdasarkan mandat konstitusi itu, seharusnya Negara membentuk pemerintahan yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat hingga ke pedesaan. Namun, Negara tidak membentuk pemerintahan sampai ke desa dan akibatnya Negara tidak memberi pelayanan publik kepada warga negara yang tinggal di desa.

Seperti diketahui model Pemerintahan NKRI saat ini meniru model Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dengan sedikit perubahan. Sebagaimana Pemerintah Kolonial, NKRI tidak membentuk Pemerintahan sampai di desa.

Pada zaman kolonial pemerintahan terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Karesidenan, Pemerintah Kabupaten/Kota (regenschapen/stadsgemeente), Pemerintah Kawedanan (district) dan Pemerintah Asisten Wedana (onder district). Di bawah asisten wedana tidak ada pemerintahan formal, yang ada adalah pemerintahan tidak langsung (indirect rule/indirect gebied) dengan istilah pemerintahan komunitas pribumi (inlandsche gemeente). Inlandsche gemeente bukan pemerintahan resmi, tapi korporasi atau rechtspersoon (badan hukum) komunitas pribumi desa yang dibentuk oleh Negara dengan ordonansi (IGO 1906).

Berdasarkan pengaturan demikian, Negara tidak berurusan langsung dengan rakyat desa. Untuk berurusan dengan rakyat desa, Negara harus melalui kepala korporasi komunitasnya: lurah (kepala desa) sebagai perantara. Di sini kepala desa berfungsi sebagai broker,  antara rakyat dan pemerintah dan sebaliknya. Regent/Bupati tidak bisa berhubungan dan memberikan pelayanan publik langsung kepada rakyat desa.

Regent/Bupati harus melalui kepala desa sebagai broker. Sebaliknya, rakyat desa juga tidak bisa berhubungan langsung dengan Bupati. Semua urusan rakyat desa harus diserahkan dulu kepada kepala desa sebagai brokernya. Kepala desa lalu meneruskan kepada Bupati melalui Asisten Wedana. Mirip dengan zaman kolonial, berdasarkan UU No. 23/2014 pemerintahan terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di bawah Kabupaten/Kota tidak ada pemerintahan formal, yang ada adalah pemerintahan tidak langsung (indirect rule/indirect gebied) dengan istilah Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Desa adat.

Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Desa adat bukan pemerintah formal, tapi korporasi sosial politik di desa yang dibentuk oleh Negara dengan UU No. 6/2014. Sebagai korporasi, Pemerintah Desa mempunyai jurisdiksi sendiri yang tidak bisa diintervensi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan pengaturan demikian, Negara tidak bisa berurusan langsung dengan rakyat desa. Untuk memberi pelayanan publik kepada rakyat desa, Negara harus melalui kepala korporasinya (Kepala Desa) sebagai broker. Kepala desa adalah kepala badan hukum semi otonom yang mewakili masyarakat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Bahkan bukan bawahan Bupati/Walikota.Namun sama-sama kepala badan hukum menurut Undang-Undang.

Bupati/Walikota adalah kepala badan hukum daerah otonom, sedangkan Kepala Desa adalah kepala badan hukum sosial-politik desa. Dengan demikian, Bupati/Walikota tidak bisa memberi perintah langsung kepada Kepala Desa untuk melaksanakan tugas Bupati/Walikota karena bukan aparatur bawahannya. Kepala desa bisa menolak perintah Bupati jika materi perintahnya tidak sesuai dengan UU No. 6/2014.

Menjadi Rumit

Boleh jadi, urusan menjadi rumit karena status badan hukum desa bukan badan hukum pemerintahan daerah otonom sebagaimana Kabupaten/kota. Hal ini berbeda dengan Provinsi dan Kkabupaten/Kota yang sama-sama badan hukum daerah otonom, sehingga Provinsi dan Kabupaten/Kota menyelenggarakan urusan pemerintahan yang segaris/linear. Tidak demikian dengan desa. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan pemerintah desa tidak segaris atau berbeda dengan urusan pemerintahan yang diselenggarakan Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Pemerintah desa tidak mengurus pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan dan kawasan permukiman dan seterusnya. Pemerintah desa hanya mengatur dan mengurus urusan asal-usul dan urusan skala lokal hingga akibatnya pelayanan publik bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan dan kawasan permukiman dan seterusnya tidak diurus oleh pemerintah desa karena pemerintah desa tidak mempunyai kewenangan mengurusnya.

Dengan tidak mengurus bidang-bidang tersebut maka Pemerintah Desa tidak mempunyai dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas pengairan, dan seterusnya sebagai pelaksana urusan pemerintahan yang linear dengan urusan pemerintahan yang diselenggarakan Kabupaten/Kota. Pemerintah desa hanya mempunyai kepala desa dan perangkat desa sebagai organ korporasi sosial-politik.

Sementara itu, pemerintah, Kabupaten/Kota tidak bisa masuk ke desa karena terhalang oleh status desa sebagai badan hukum (korporasi). Bahkan bukan local self-government, bukan local state-government, bukan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Kabupaten/Kota dan bukan subordinat Kabupaten/Kota.

Pemerintah desa adalah korporasi sosial-politik semi otonom di bawah Kabupaten/Kota yang mempunyai jurisdiksi dan sistem kerja sendiri. Pemerintah Desa mempunyai mekanisme sendiri dan berdiri sendiri, serta mempunyai lembaga-lembaga mirip dengan lembaga-lembaga Kabupaten/Kota; 1) kepala desa mirip dengan Bupati/Walikota; 2) BPD mirip dengan DPRD; 3) Peraturan Desa (Perdes) mirip dengan Peraturan Daerah (Perda); 4) APBDesa mirip dengan APBD; 5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa mirip dengan RPJM Kabupaten/Kota dan 6) Rencana Kerja (RK) Desa mirip dengan RK Kabupaten/Kota.

Kebijakan umum dibuat dalam bentuk Perdes yang dibuat oleh Kepala Desa dan BPD. Perdes dioperasionalkan dengan Peraturan Kepala Desa. Pemerintah Desa harus membuat Perdes tentang RPJM. RPJM dibuatkan lagi Perdes tentang RK dan APBDesa tiap tahun. Namun, program yang dibuat dalam RPJM, RK, dan APBDesa hanya legitimasi atas kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri. Semua kebijakan tersebut hanya berputar-putar pada kegiatan sehari-hari pemerintahan desa: 1) menarik pajak bumi dan bangunan; 2) membangun infrastruktur; 3) menjadi perantara permohonan surat-surat resmi ke pemerintah atasan; 4) memobilisasi perempuan ikut PKK dan Posyandu; 5) memobilisasi anggota BPD, ketua RT, ketua RW dan anggota LPM mengikuti rapat desa membuat Perdes dan lain-lain; 6) memobilisasi warga desa untuk kerja wajib/gotong royong (heerendiensten), dan 7) melaksanakan tugas pemerintah atasan.

Ketujuh kegiatan pemerintahan sehari-hari tersebut didanai Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dengan jumlah sangat besar (milyaran). Penggunaan DD dan ADD tersebut saat ini bermasalah karena banyak dikorupsi dan disalahgunakan oleh kepala desa dan pemangku kepentingan.

Hal ini terjadi karena Pemerintah Desa yang hanya korporasi komunitas diurus oleh kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan lembaga kemasyarakatan warisan Jepang dan Orde Baru. Lembaga ini tidak mempunyai kapasitas mengelola DD dan ADD karena sumber daya manusianya tidak kompeten. Kepala desa diisi dengan cara pemilihan langsung dari warga desa yang rendah pendidikannya, sedangkan perangkat desa diisi dengan cara seleksi dan pengangkatan yang tidak berdasarkan UU No. 5/2014 tentang ASN. Perangkat desa terdiri atas sekretaris desa, kepala-kepala urusan, kepala dusun, dan staf teknis. Semuanya staf dengan kompetensinya sangat rendah, karena direkrut tidak berdasarkan standar ASN tapi berdasarkan standar komunitas, sehingga tidak mampu melaksanakan program yang birokratis dan teknokratis.

Selain itu, Pemerintah Desa tidak mengurus urusan-urusan pemerintahan yang jelas, hingga mengakibatkan Pemerintah Desa tidak membuat penganggaran berdasarkan asas money follow functions. Pemerintah Desa tidak mempunyai fungsi-fungsi pemerintahan yaitu urusan-urusan pelayanan publik yang harus dilaksanakan.

Dengan demikian, Pemerintah Desa menjadi bingung sendiri ketika harus membuat program dengan uang yang sangat besar. Untuk mengatasi ketidakmampuan dan kebingungannya, Pemerintah memberi tenaga pendamping, hingga diharapkan DD dan ADD tidak dikorupsi maka Pemerintah menugaskan Inspektorat (Kabupaten/Kota/Provinsi/Pusat), kepolisian, dan Komando Teritorial Militer untuk mengawasi.

Cara mengatasi masalah dengan cara asal-asalan tersebut tentu tidak mengatasi masalah, karena masalahnya terletak pada status desa yang tidak jelas jenis kelaminnya, kompetensi dan profesisonalitas Kepala Desa dan perangkatnya, kewenangan yang tidak segaris dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, statusnya sebagai badan hukum yang malah menjadi penghalang Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan pelayanan publik langsung kepada rakyat desa, tiadanya urusan pemerintahan dasar yang dimiliki oleh pemerintah desa dan tiadanya lembaga pelaksana urusan pemerintahan yang memberikan pelayanan barang dan/atau jasa publik kepada warga desa sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya.

Nasib Dana Desa

Dana Desa dan ADD yang sangat besar tersebut akan bernasib sama dengan dana Bantuan Desa (Bandes) dan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) zaman Orde Baru. Perlu diketahui bahwa Pemerintah pada Pelita I (1969-1974) telah menyalurkan dana desa sebesar Rp100.000 dan berakhir pada 1999 sebesar Rp10.000.000 setiap tahun. Kemudian pada 1995-1998 Pemerintah juga menyalurkan dana desa IDT sebesar Rp20.000.000 untuk desa miskin. Semuanya menguap tanpa hasil atau tidak berdampak kepada peningkatan kesejahteraan warga desa. Kebijakan Dana Desa dan ADD inipun tampaknya bernasib sama.

Rakyat desa tetap tidak bisa sejahtera karena penggunaan Dana Desa tidak ditujukan untuk memberi pelayanan publik dasar kepada warga negara yang tinggal di desa. Dalam kondisi Pemerintah Desa yang tidak kompeten dan bingung sendiri, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa berbuat banyak, karena terhalang oleh status Pemerintah Desa sebagai badan hukum semi otonom yang mempunyai jurisdiksi sendiri. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bisa mengurus dirinya sendiri yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan warga desa.

Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bisa menitipkan SD pada tiap desa, menempatkan bidan desa untuk melayanai beberapa desa, mendirikan Puskesmas untuk melayani beberapa desa, mendirikan SMP untuk melayani beberapa desa dan membangun infrastruktur (jalan, jembatan, dan bangunan irigasi) dalam jurisdiksinya.

Bahkan Pemerintah Kabupaten tidak bisa memberikan pelayanan publik langsung kepada warga desa berupa infrastruktur fasilitas umum dan sosial, infrastruktur ekonomi (sarana dan prasarana ekonomi, dukungan permodalan, akses pemasaran dan dukungan produksi serta sumber daya), sanitasi, air bersih, sampah, transportasi publik, air petani/irigasi, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan perlindungan (rasa tenteram, tertib, dan aman). Kalau akan memberi pelayanan barang dan jasa publik tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota harus bernegosiasi dengan kepala badan hukumnya (Kepala Desa).

Warga negara yang tinggal di kota besar yang sudah tidak memiliki Pemerintah Desa lebih beruntung, karena Pemerintah Kota bisa berhubungan langsung dengan citizens yang tinggal di wilayahnya. Semua wilayahnya adalah jurisdiksinya. Tidak ada wilayahnya yang menjadi jurisdiksi Pemerintah Desa. Karena tidak ada pemerintah desa maka Pemerintah Kota tidak perlu melakukan tawar menawar dengan kepala korporasi sosial politik (Kepala Desa) di wilayahnya.

Pemerintah Kota bisa langsung mengesekusi kebijakan dan program untuk warga negara yang tinggal di wilayahnya sampai akar rumput tanpa terhalang oleh badan hukum sosial-politik  (pemerintah desa) sebagamana pemerintah kabupaten.

Oleh :

Prof Dr H Hanif Nurcholis M Si Guru besar Ilmu Administrasi Publik Uninersitas Terbuka Jakarta

 

* Artikel ini telah dibaca 1,125 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *