Home > HEADLINE > Bahasa Ibu Semakin Ditinggalkan Masyarakat

Bahasa Ibu Semakin Ditinggalkan Masyarakat

SEMARANG[Kampusnesia] – Budayawan Ahmad Tohari menilai keberadaan bahasa Ibu di berbagai daerah semakin melemah, akibat menurunnya penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.

“Hampir di setiap tahun di berbagai wilayah di Indonesia, beberapa bahasa daerahnya semakin punah dan tidak bisa dihidupkan kembali karena sosok penuturnya telah habis,”’ ujarnya dalam orasi budayanya tentang ”Membina Tatanan Bermultibahasa dalam Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional” yang digelar di Aula Pertemuan Lantai VI Kampus IV Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) Jalan Gajah Raya, Semarang, Rabu (21/2).

Menurutnya, pemakaian bahasa daerah di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, ataupun Papua diinformasikan sudah cukup banyak yang hilang. Termasuk di dalamnya yang sebenarnya jumlah penuturnya besar seperti di bahasa Jawa dan bahasa Sunda.

“Kami kira di sinilah pentingnya Unesco menyatakan 22 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Tetapi sekiranya pula bahasa Ibu bukan hal penting untuk dijadikan hari khusus. Seyogyanya, bahasa Ibu adalah bahasa yang kali pertama terdengar oleh seorang anak dari mulut sang Ibu,” tuturnya.

Dari tuturan para Ibu itu, lanjutnya, kemudian akan membangun pondasi kebahasaan dalam diri setiap anak mereka. Bahkan tentang menurun serta melemahnya penggunaan bahasa Ibu, diduga, penyebab utama adalah gejala kekotaan atau urbanisme.

“Budaya kota seakan-akan telah dianggap lebih unggul daripada budaya desa yang tani. Padahal, budaya desa itulah bahasa Ibu yang tumbuh dan berakar. Akibatnya, baik itu para Ibu muda, anak, pegawai muda kian meninggalkan penggunaan bahasa tersebut,” ujarnya.

Hal senada Guru Besar Bidang Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Teguh Supriyanto menuturkan tidak sedikit anak-anak jaman sekarang sudah sangat jarang bahkan menolak untuk menggauli tentang bahasa Ibu.

“Serupa keadaannya di dunia karya sastra. Yang mau membaca, belajar tentang sastra Jawa saja semakin sedikit. Seakan-akan mereka tidak lagi peduli, meski sebenarnya, yang menjadi filter dari permasalahan tersebut yakni kesadaran atas identitasnya sendiri,” tutur Teguh.

Rektor UPGRIS Muhdi mengatakan banyak hal yang perlu diupayakan, di samping bahasa Ibu sebagai syarat nilai dan karakter yang harus dijaga, serta dilestarikan dimana yang bersangkutan lahir di daerah tersebut.

“Kami sebagai perguruan tinggi yang di dalamnya ada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni ini, pun berkomitmen untuk tidak sekadar menyiapkan calon guru. Tetapi juga menyiapkan para generasi sebagai tokoh pejuang, penjaga bahasa Ibu itu sendiri,” ujarnya. (rs)

 

* Artikel ini telah dibaca 836 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *