SEMARANG[Kampusnesia] – Keputusan SMA Negeri 1 Semarang mengeluarkan dua siswanya karena dugaan kekerasaan terhadap yuniornya saat pelaksanaan kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) mengundang perhatian banyak pihak dan dinilai tidak mendidik.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Jawa Tengah Bambang Sadono mengatakan seharusnya pihak sekolah menyelesaikan persoalan pendidikan dengan cara yang mendidik.
Menurutnya, Kepala SMA Negeri 1 sebagai pimpinan tertinggi lembaga sekolah harus bertanggungjawab atas terjadinya dugaan kekerasan saat kegiatan LDK. Bukan sebaliknya, tanggung jawab tersebut kemudian hanya dibebankan pada siswa dengan keputusan mengeluarkan dari sekolah.
“Menurut saya, itu tidak mendidik. Menyelesaikan persoalan pendidikan tidak dengan cara mendidik. Kepala sekolah harus dimintai tanggung jawab oleh dinas pendidikan,” ujarnya usai menerima dua orang tua siswa di Kantor DPD RI Provinsi Jateng, Rabu (28/2).
Seperti diketahui, SMA Negeri 1 mengeluarkan dua siswa yakni AN dan AF kelas XII yang juga pengurus OSIS, karena dugaan kekerasan terhadap yuniornya saat kegiatan LDK pada pada November 2017 lalu. Selain itu, pihak sekolah juga memberikan sanksi skorsing kepada sembilan siswa lain yang juga pengurus OSIS yang menangani kegiatan LDK OSIS SMAN 1 Semarang.
Bambang Sadono menuturkan terkait kasus tersebut, Kepala Sekolah harus bertanggung jawab, mengingat tindakan itu akan mengancam masa depan dua siswa, karena siswa tersebut telah menyiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional (UN).
“Kepala Sekolah dan pengurus sekolah harus bertanggung jawab. Tidak hanya diam saja, ketika anaknya salah malah anaknya yang dipersoalkan. Apalagi, mengancam masa depan mereka dengan mengeluarkan dari sekolah,” tuturnya.
Dia mengingatkan persoalan terkait dua siswa tersebut harus dicarikan solusi sebaik-baiknya agar jangan sampai menjadikan mereka malah menjadi korban, mengingat anak-anak tersebut masih memiliki masa depan.
Solusi itu, lanjutnya, harus dengan mempertimbangkan masa depan siswa yang bersangkutan, termasuk fasilitasi pindah ke sekolah sebagaimana ditawarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng.
Dinas Pendidikan Jateng memfasilitasi dua siswa tersebut untuk tetap bersekolah dengan pindah ke SMA negeri yang terdekat dengan tempat tinggalnya, yakni SMAN 11 untuk AN dan SMAN 13 Semarang untuk AF agar tetap bisa ikut UN.
Namun, siswa bersangkutan, baik AN dan AF, beserta kedua orang tua siswa masing-masing tetap menginginkan tetap bersekolah di SMAN 1 Semarang, karena merasa tidak bersalah dan menilai keputusan sekolah yang tidak adil.
“Kalau ditampung kembali (kembali ke SMAN 1 Semarang), saya malah berpikir apakah anaknya tidak tertekan nanti? Namun, kalau mereka ternyata bisa, ya, lebih baik,” ujarnya. (rs)