SEMARANG[Kampusnesia] – Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) meminta pemerintah dan swasta untuk menjalankan kewajiban tentang sertifikasi tenaga kerja kontruksi, sebagai upaya untuk menghindari sanksi pemberhentian dari pekerjaan konstruksi.
Penasihat Gabungan Ahli Teknik Nasional Indonesia (Gatensi) Jateng Djoko Oryxahadi mengatakan kewajiban itu juga tertuang dalam Undang-undang No 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengamanatkan seluruh pekerja konstruksi harus mampu menunjukkan bukti kompetensinya melalui sertifikat.
“Namun, kewajiban sertifikasi ini kenyataanya masih sulit diwujudkan, akibat terkendaa proses dalam memperoleh sertifikasi, dan para pengusaha jasa konstruksi juga enggan memberikan kesempatan pekerjanya untuk mengikuti pelatihan agar mendapat sertifikasi,” ujarnya usai memberikan pelatihan pada ”Bimbingan Teknik dan Ujian Sertifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Teknis” di Hotel Amaris Semarang, Selasa (6/3).
Menurutnya, para kontrakor senior, jika tidak memiliki sertifikat, semakion sulit untuk menghindari sanksi berupa pemberhentian dari pekerjaan konstruksi.
“Kalau mereka kompeten tetapi tidak memiliki bukti sertifikasi ya tidak bisa bekerja, meski nekad bisa jadi terkena sanksi pemberhentian pekerjaan konstruksinya” tuturnya.
Dengan demikian, lanjutnya, diharapkan sertifikasi terhadap pekerja konstruksi Indonesia terus diperluas secara masif, mengingat sertifikasi juga dapat meredam masuknya tenaga kerja asing (TKA) di Tanah Air.
“Seiring dengan pasar bebas di Asia, berpotensi tenaga kerja asing bakal masuk ke Indonesia secara besar-besaran, terutama pada sektor konstruksi. Nah, kalau tidak memiliki sertifikasi bakal sulit untuk bersaing,” ujar Djoko.
Pemerintah, dia menambahkan sudah menargetkan sertifikasi terhadap tenaga kerja konstruksi mencapai satu juta tenaga kerja tahun ini. Bahkan, dalam beberapa tahun ke depan sertifikasi dapat mencapai tujuh juta sertifikat.
“Namun, sampai saat ini berdasarkan data di LPJK jumlahnya masih sekitar 400 ribuan, atau masih jauh dari total pekerja konstruksi sebanyak 7 juta,” tuturnya.
Menurutnya, sertfikasi ini juga dapat mengurangi masuknya tenaga kerja asing tidak terampil (unskill labour), karena dengan adanya kewajiban bagi setiap perusahaan mempekerjakan karyawan yang bersertifikat, sehingga sertifikasi akan mempersulit tenaga kerja asing tersebut.
“Tentu, dengan dasar yang kuat pemerintah bisa memulangkan pekerja yang tidak bersertifikat ke negaranya,” kata Djoko.
Sertifikasi kepada tenaga kerja lokal sangat strategis untuk memastikan lapangan kerja yang tersedia benar-benar diisi oleh tenaga kerja lokal, mengingat tingkat pengangguran di dalam negeri saat ini masih sangat tinggi.
“Jangan sampai, yang unskill labour juga masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Djoko optimistis sektor konstruksi akan tumbuh dengan baik ke depan, sehinga perlu ditopang oleh kecukupan pasokan tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi di dalam negeri. (rs)