Home > EDITOR'S CHOICE > Kekerasan Terhadap Wartawan Kapan Berakhir?

Kekerasan Terhadap Wartawan Kapan Berakhir?

Kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi, akibat persoalan beda tafsir, terkait dengan karikatur yang dimuat, kantor Tempo di demo, bahkan Pemimpin Redaksinya sempat dilepas kacamatanya. Banyak yang mengecam demo yang mulai mengarah ke anarkhis yang tidak semestinya dilakukan. Bila Tempo dianggap salah, maka jalur atau mekanisme Dewan Pers lah yang seharusnya dilakukan.

Kekerasan semacam itu sebenarnya justru menguntungkan Tempo yang memang menjalankan fungsi jurnalistiknya, sebaliknya banyak kalangan yang justru menyayangkan tindak kekerasan yang dilakukan pendemo.

Tampaknya, kekerasan terhadap wartawan merupakan peristiwa klasik yang hingga kini masih saja terus terjadi. Pertanyaannya, mengapa hal semacam itu terus saja terjadi?.  Serta bagaimana sebaiknya wartawan,  serta siapa pun yang terkait dengan peristiwa semacam itu menyikapinya ?

Resiko Profesi

Sebagai seorang profesional, siapapun mereka, termasuk wartawan, bahkan Pemimpin Redaksi pun,  satu saat akan berhadapan dengan resiko profesi. Harusnya disadari oleh setiap wartawan, bahwa profesi yang mereka geluti, selalu mengandung adanya resiko profesi, terlebih bila peliputan kejadian atau peristiwa yang mereka liput beresiko terjadinya kekerasan, termasuk peristiwa demonstrasi yang melibatkan massa yang jumlahnya besar, seperti yang terjadi di kantor Tempo.

Sebagai seorang wartawan profesional, maka profesionalitas pekerjaannya akan sangat ditunjang oleh penguasaan serta pemahaman mereka setidaknya terhadap UU No.40 tahun 1999, tentang Pers, UU No,32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Stadard Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (P3SPS KPI), serta pedoman kerja dari masing-masing media, di mana para wartawan tersebut bernaung.

Demikian pula dengan aparat yang bertugas, pada saat berhadapan dengan massa, tetap saja mereka harus mengerti serta menghargai wartawan yang dalam melaksanakan pekerjaannya dilindungi oleh UU serta aturan-atruran lain yang berlaku. Pemrotes  pun juga memedomani SOP nya masing-masing sesuai dengan aturan yang berlaku.

Bila di antara keduanya saling mengerti serta menghargai satu sama lain sesuai dengan berpedoman pada standard operasional mereka masing masing, niscaya benturan yang tidak perlu di antara keduanya akan bisa dihindarkan.

Masalahnya, dalam meliput sebuah peristiwa yang melibatkan massa misalnya demonstrasi, meski korlap (koordinator lapangan) telah memberikan briefing atau semacamnya sebelum melakukan demonstrasi, namun psikologi massa sering sulit dikendalikan. Terlebih bila ada oknum yang memprovokasi, bak pemantik kompor gas, maka api tindakan massa yang liar dan tak terkendali akan mudah tersulut.

Bila setiap unsur memahami protapnya masing-masing, maka sesuai aturan yang berlaku demo mestinya hanya terbatas pada penyampaian protes serta aspirasi. Sebaliknya jajaran redaksi harus pula melayaninya dengan baik. Kesanggupan Tempo untuk memuat hak jawab pemrotes, sebenarnya merupakan solusi yang baik. Masalahnya demo yang melibatkan massa secara psikologis sering tidak terkendali.

Persoalannya, ketika pendemo melanggar aturan, menolak saran Tempo, bahkan sampai melepas kacamata Pemimpin Redaksi, meski tidak ada kekerasan lebih lanjut, tetap saja hal tersebut akan mengancam kebebasan pers yang di era keterbukaan ini sangat dihargai.

Antara Aktualitas dan Obyektivitas

Pelanggaran aturan oleh pendemo itulah sebenarnya yang merupakan pemicu persoalan. Mungkin pendemo punya alasan di balik tuntutannya. Sebaliknya Tempo dilindungi oleh UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, dimana semestinya dilakukan proses penyelesaian oleh Dewan Pers dan bukan dengan memaksakan kehendak.

Dengan peristiwa itu, seharusnya para pendemo sadar bahwa kegiatan mereka akan terliput berbagai media, termasuk media sosial dengan berbagai ragam isi serta gayanya masing-masing.

Di sisi lain, pendemo juga perlu mengetahui kekuatan media yang berupa interaksi serta komunikasi pararasional, di mana perasaan senasip serta solidaritas akan mudah sekali tercipta dan rasa simpati justru akan diperoleh oleh pihak yang  tampak teraniaya.  Bahkan opini itulah yang saat ini terjadi dan justru menyemangati Tempo serta media lainnya.

Bagi media arus utama (mainstream), meski aktualitas berita itu penting, namun sebenarnya menyajikan berita secara obyektif sesuai dengan Teori Obyektivitas Berita dari Westersthall lebih bermanfaat, dan setidaknya akan menjaga kondusivitas hubungan dengan aparat.

Dengan menyajikan berita yang faktual, relevan, netral serta berimbang seperti kata Westersthall tersebut, kemungkinan benturan yang terjadi dengan aparat karena saling salah persepsi dapat dihindari. Melalui cara itu, sebenarnya wartawan tidak perlu terkesan membela demontran di mata aparat, namun dapat tetap menyajikan informasi yang aktual , menarik, didukung fakta serta relevan dengan kepentingan banyak orang.

Di sisi lain, adalah hak serta tugas sebuah media untuk menurunkan opini, baik yang berupa tulisan, karikator dan bentuk lain yang merupakan pendapat serta pandangan redaktur yang sah.  Bila masyarakat kurang setuju tinggal membuat hak jawab, atau melaporkannya ke Dewan Pers.

Sinergitas

Pada intinya, bila antara wartawan serta organisasi kemasyarakatan yang sedang menjalankan kegiatannya masing-masing, menjalankan tugas serta kewajibannya dengan benar, niscaya benturan di antara keduanya akan dapat dihindarkan.

Di alam reformasi yang penuh keterbukaan saat ini, sebenarnya gaya  dalam menanggapi sesuatu sudah sangat berbeda dibanding masa sebelumnya. Aparat yang bertugas baik itu dari POLRI ataupun aparat lainnya, tetap akan menjaga kondisi serta ketertiban serta keamanan, utamanya institusi yang secara sah dilindungi oleh perundangan serta peraturan yang berlaku.

Kekerasan terhadap wartawan sebagai resiko profesi tetap saja mungkin akan terjadi, untuk mengurangi atau menghindarkannya, sebaiknya dalam menjalankan profesinya mereka  perlu memedomani UU serta peratutan yang terkait dengan profesinya, serta memanfaatkan kemampuan empatinya secara maksimal, demikian pula sebaiknya dengan aparat yang bertugas, atau siapapun yang melakukan kegiatan yang berpotensi terpublikasi.

Hanya sinergitas di antara merekalah yang diharapkan akan memiminalkan kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan, karena bila itu tetap saja terjadi, sejatinyalah mereka semuanya yang akan rugi.

* Artikel ini telah dibaca 308 kali.
Gunawan Witjaksana
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. Pengamat komunikasi dan media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *