SEMARANG[Kampusnesia] – Tuntutan kecepatan dalam menyebarluaskan informasi, menjadi salah satu pemicu munculnya media kolektor hingga mengakibatkan demoralisasi berita yang menyampingkan prinsip kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng Amir Machmud NS, SH., MH mengatakan media kolektor menampilkan berita yang sudah diseleksi sesuai dengan kriteria yang diinginkan, tentunya untuk memenuhi kepentingan tertentu.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi di Indonesia juga ada media copy paste yang mengambil sumber berita dari media-media lain yang memiliki kesepahaman.
“Sepuluh tahun terakhir ini diberbagai lingkup pemberitaan dikalangan wartawan, khususnya di Jateng, terjadi demoralisasi dengan copy paste berita, seperti satu wartawan membuat berita dan wartawan lainnya boleh mengambil, sehingga hanya mengolah sedikit data yang akan dijadikan berita, entah mengubah lead-nya, atau mengubah sedikit kontennya, bahkan hanya mengubah judulnya, kemudian dipublis begitu saja,” ujarnya dalam Talk Show “Realitas Kehidupan Media dan Prospek Peluang Kerja” yang digelar Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang bekerja sama dengan PWI Jateng dan Radio Republik Indonesia (RRI), di kampus Unisula Semarang, Kamis (22/3).
Talk Show yang dihadiri lebih dari 100 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi itu menampilkan pembicara Ketua PWI Jateng, Amir Machmud NS,SH.,MH, Ketua Komisi Penyiaran Daerah (KPID), Budi Setyo Purnomo M.Kom, Dosen Unisula Made Dwi Andjani, M.Si, M.I.Kom dann Dosen Undip, Dr.Turnomo Raharjo, M.Si.
Menurut Amir, wartawan copyppaste (wartawan plagiat) membuat prihatin bagi pengujian tentang tiga mantra menjadi seorang wartawan yaitu akuntabilitas, verifikasi dan membangun kepercayaan publik ketika tidak terbukti sama sekali.
“Kondisi itulah, dapat kita sebut sebagai demoralisasi berita, ketika mantra wartawan tersebut tidak digunakan maupun dipraktikka, kemudian akan menjadi sebuah kemrosotan ketika demoralisasi menjadi sebuah kebenaran,” tuturnya.
Memperhatikan estetika dan adap jurnalistik, dia menambahkan sangatlah penting bagi wartawan, bahkan medianya sekaliapu, mengingat mencari sumber berita juga merupakan suatu hal yang penting, tidak hanya sekedar mengambil berita dari berbagai media kemudian menggabungkan dan merubahnya sedikit kemudian disebarluaskan.
“Diawali news gettering dan diakhiri news reporting. Pada dasarnya jurnalisme menekankan pada memcari data primer dan bukan data sekunder. Sedangkan media kolektor itu sendiri merupakan data sekunder. Media kolektor tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik, karena sumber data yang dihasilkan dari data sekunder. Kondisi seperti media copypaste ini sangat membahayakan karena memicu munculnya berita hoax,” ujar Dr. Turnomo Raharjo, M. Si.
Turnomo menuturkan Jurnalistik itu seperti penelitian jadi bagaimana mempersiapakan mulai dari apa yang akan diperoleh sampai bagaimana cara mempublikasikan, hasil dari penelitian.
Para wartawan harusnya memperhatikan mengenai data-data yang didapat, seharusnya data data yang diperoleh harus terverifikasi dan teruji kebenarannya. Selain, wartawan harus memahami adap ataupun kode etik wartawan.
Perlu adanya tabayun, lanjutnya, sehingga harus benar benar mencari dasarnya dan sumber terpercaya menjadi sangat penting. Namun terkadang mengejar kecepatan dalam mengunggah informasi membuat wartawan mencari jalan pintas untuk saling bekerja sama dalam mendapatkan data pada akhirnya data-data yang diperoleh sama.
“Kami dari perguraun tinggi mengharapkan, agar prinsi-prinsip jurnalistik perlu dipahamkan bagi mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu jurnalistik, agar ke depan memahami dan mengenal betul mengenai kewenangan yang seharusnya dilakukan oleh seorang jurnalis,” ujar Made Dwi Adnjani. (Lima DM/smh).