SEMARANG[ Kampusnesia] – Hingga saat ini masih hangat dibicarakan berbagai pihak persoalan revisi UU MD3 yang menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, bahkan revisi UU MD3 produk DPR-RI itu dinilai membuat Indonesia mengalami kemunduran Demokrasi, meski Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak bersedia menadatangani.
Dosen Mata Kuliah Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Suryanto, S.Sos, M.Si mengatakan revisi UU MD3 akan menjadikan masyarakat tidak dapat bebas untuk menyuarakan pendapatnya. Bahkan juga semakin memberangus insan pers.
Demokrasi yang tengah gencar dilakukan sejak reformasi hingga mampu menunjukkan hasil positif bagi bangsa di negeri ini, kini tiba-tiba diganjal dengan lahirnya revisi UU MD3 produk DPR-RI, meski banyak publik menolak nampaknya tetap nekat diberlakukan, tanpa ditandangani Presiden Jokowi.
Repotnya, meski Jokowi tidak bersedia mendantangani Revisi UU MD3, namun belum juga Jokowi mengeluarkan Perpu, hingga UUD MD3 setelah masa 30 hari disahkan DPR-RI dianggap berlaku secara otomatis.
Menurut Suryanto, terdapat beberapa pasal dari UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang banyak menimbulkan persoalan publik, mengingat ketentuan mengenai pengambilan langkah hukum terhadap siapa saja yang menghina DPR.
Selain itu, lanjutnya, terdapat juga pasal mengenai jika ada panggilan terhadap DPR harus meminta pertimbangan Mahkamah Kehormatan (MK) dan setelah itu dilimpahkan kepada Presiden. Bahkan terdapat juga pasal tentang pihak – pihak yang dipanggil oleh DPR dan tidak datang akan di panggil paksa dengan dibantu oleh Kepolisian.
Jika UU MD3 diterapkan, dia manambahkan secara berkelanjutan tentu akan menimbulkan masalah baru bagi bangsa Indonesia. Rakyat akan kehilangan haknya untuk menyuarakan aspirasinya.
Kondisi itu, lanjutnya, sangat bertentangan dengan hak – hak masyarakat yang telah tertuang pada UUD 1945. Seperti contoh, jika terdapat anggota DPR yang melakukan tindakan korupsi dan dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada MK sebelum dilimpahkan ke Presiden.
Dengan demikian, tutur Suryanto, akan memerlukan waktu cukup lama, sementara pekerjaan KPK tidak hanya menangani satu kasus, namun masih banyak kasus yang ditangani, hingga berpotensi menghambat kinerja KPK.
UU MD3 jika tidak dibatalkan, tentunya rakyat merasa kecewa, karena DPR dibentengi dengan Undang – Undang yang dibuat sendiri, dimana orang lain tidak boleh mengkritik, meski itu kritik membangun, hingga publik hanya akan menjadi penonton dari segala apapun yang dilakukan DPR, meski harus diakui demokrasi adalah kekuasaan ditangan rakyat.
Suryanto menuturkan walaupun sudah banyak yang mengajukan uji materi ( judisial review) terhadap UU MD3, masih tetap berjalan. Begitu juga kalangan Lembaga Swasdaya Masyarakat (LSM) dan kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menolak dengan menggelar aksi demo, tetap legislatif terkesan tutup mata dan tutup telinga.
“Kita berharap tentu Mahkamah Konstitusi akan bijak untuk mengambil keputusan yang terbaik,” ujar Suryanto. (Novita Ratnasari/rs)