Dalam materi di berbagai jenjang uji kompetensi wartawan sebenarnya kode etik jurnalistik sudah diakomodasi, tetapi masih parsial. Belum menjadi materi uji tersendiri.
Nah, karena Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merasa ada sesuatu yang kurang, hingga organisasi ini mengambil inisiatif perbaikan mata uji, yang kemudian telah diusulkan kepada Dewan Pers.
Tentu saja materi kode etik ini sangatlah strategis, dengan alasan utama bahwa di mana pun ada organisasi profesi, boleh jadi kode etiklah yang menjadi salah satu saka guru yang penting. Ruh dari organisasi profesi sebenarnya terletak pada kekuatan kode etik, sekaligus ketaatan seluruh anggota profesi itu.
Organisasi profesi tanpa kode etik adalah gerombolan, hingga menjadi hak sekaligus kewajiban bagi seluruh anggota profesi untuk tunduk dan sekaligus konsisten menjaganya.
Kode etik juga sangat penting untuk menjaga martabat profesi, karena di situlah kredibilitas dan kesadaran berprofesi dipertaruhkan.
Etika berarti filsafat mengenai bidang moral. Jadi etika merupakan refleksi sistematis mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan juga istilah-istilah. Atau kode etik diartikan sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan masyarakat pers untuk mengetahui bagaimana wartawan menjalankannya profesinya.
Seperti diketahui, profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur, himpunan pengetahuan dasar yang bersifat khusus, terampil dalam menerapkan, tata cara pengujian yang obyektif, serta adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaannya.
Nilai nilai moral sebuah “masyarakat” wartawan bukan sekadar keyakinan masing-masing anggota. Melainkan harta benda rohani masyarakat wartawan sekaligus sebagai penentu identitasnya
Dengan demikian, profesi wartawan mengharuskan anggotanya untuk sepenuhnya taat dan tawaduk terhadap kode etik jurnalistik.
Dalam lingkungan masyarakat saat ini, produk jurnalistik yang taat kode etik akan menjadi pembeda dengan berita-berita bohong atau hoax.
PWI terpanggil untuk menjadi organisasi profesi yang paling bertanggungjawab mengingat jumlah anggotanya yang mencapai 15.000 lebih.
Dimasukkan kode etik jurnalistik dalam materi uji kompetensi, mungkin akan terasa berat bagi peserta. Betapa tidak, karena materinya adalah bagaimana mengimplementasikan pasal-pasal ke dalam perilaku wartawan dan produk jurnalitiknya.
Sedangkan pada jenjang madya dan utama, peserta diharuskan mampu memberikan tafsir memadai dan sesuai dalam praktik jurnalistik sehari-hari.
Dengan materi baru itu, peserta harus hafal di luar kepala pasal demi pasal, sekaligus mampu mempraktikkan kode etik dalam kerja jurnalistiknya.