SEMARANG[Kampusnesia] – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mendorong kepada kalangan pegiat perlindungan anak agar mempengaruhi para pengambil kebijakan di tingkat desa, untuk menyusun regulasi yang mencegah terjadinya pernikahan dini.
Ketua Umum KUPI Hj Badriyah Fayumi Lc, MA mengatakan perkawinan dini seringkali memunculkan problem – problem pelik dalam upaya mewujudkan sebuah keluarga yang berdaya tahan kuat. Kalau kasus ini tidak segera dikendalikan dikhawatirkan akan mengganggu ketahanan bangsa Indonesia di masa depan.
“Institusi keluarga memiliki posisi yang strategis jika dikaitkan dengan kelangsungan sebuah bangsa. Dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat dan tangguh,” ujarnya dalam Halaqah Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan pada Pendidikan Keagamaan Islam (Meneguhkan Gerakan Ulama Perempuan Dalam Pengarusutamaan Moderasi Islam), yang digekar, di hotel Aston Iin Semarang, Rabu (28/3).
Menurutnya, pernikahan merupakan langkah awal untuk membangun keluarga. Terjadinya pernikahan dini selama ini tidak diiringi dengan persiapan untuk berkeluarga dengan baik, ada yang karena keterpaksaan , “kecelakaan” atau sekedar memenuhi keinginan keluarga.
Sementara , lanjutnya, keberadaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dinilai kurang kuat dalam mencegah terjadinya perkawinan dini, dalam regulasi syarat perkawinan bagi kaum wanita disebutkan paling rendah berumur 16 tahun. Namun demikian, seringkali dengan berbagai alasan regulasi ini ditabrak, dan negara tidak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya.
Kalangan pegiat perlindungan anak yang saat ini bermunculan secara mandiri dan berdiri dibawah organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) semestinya bisa lebih berperan dengan mendekati kepada para elit di pedesaan, untuk menerbitkan regulasi lokal atau Peraturan Desa (Perdes) yang memperkuat UU Perkawinan itu.
Bahkan, dia menambahkan regulasi lokal berupa Perdes itu bisa diperketat lagi. Misalnya untuk syarat perkawinan bagi kalangan perempuan syarat umurnya bisa dinaikkan menjadi 18 tahun dengan alasan agar pengantin perempuan lebih siap dan matang, pada saat melangkah memasuki dunia rumah tangga dan berkekuarga.
Menurutnya, karena regulasinya berupa Perdes maka lebih implementatif jika dbanding dengan UU Perkawinan, mengingat para aktor utama yang terlibat dalam persiapakan perkawinan langsung berada di lapangan. Misalnya pihak Kepala Desa yang mengeluarkan surat keterangan warganya akan menikah dapat melakukan verifikasi secara langsung tentang data dan identitaspara calon mempelai pengantin.
KUPI, tutur Badriyah, telah membangun komunikasi dengan pihak-pihat pegiat perlindungan anak dan peremuan agar memperhatian gagasan ini, bahkan kalau bisa lebih jauh mengadvokasi hingga ke level pedesaan. (smh)