SEMARANG[Kampusnesia] – Kendati 72 % warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam menolak tindakan radikal dalam rangka melakukan berbagai perubahan, namun upaya untuk menangkal virus kejahatan luar biasa itu tidak boleh mengendur apalagi sampai lengah.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ir Hamli ME mengatakan jika dilihat dari angka prosentase yang menolak gerakan radikal dan teror sebagaimana temuan hasil penelitian Wahid Foundation pada 2016 memang cukup tinggi dan yang menyatakan bersedia berpartisipasi hanya 7,7 % serta mengaku pernah berpartisispasi dalam kegiatan kekerasan atas nama agama mencapai 0,4 %.
“Namun jika diakumulasikan dengan populasi jumlah penduduk Indonesia sangat mengkhawatirkan. Angka 7,7 % itu sama dengan hampir 17 juta orang. Jadi sangat tinggi sekali dan ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya pada saat menyampaikan paparan dalam seminar Medsosku Masa Depanku yang diselenggarkan Duta Damai Dunia Maya BNPT Regional Jateng di ruang pertemuan Dekanat Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Selasa (17/4)
Menurutnya, kalau 17 juta orang itu berhasil mengkonsolidir dengan baik gerakannya akan semakin merepotkan bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensinya sebagaimana dicita-citakan oleh founding fathers yang sudah bersusah payah memproklamirkan NKRI.
Oleh karena itu, dia menambahkan BNPT mengajak kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersama-sama menghadapi dan menyelesaikan problem radikalisme dan terorisme, jangan sampai para pelaku kejahatan luar biasa ini memiliki ruang untuk mengembangkan saya pengaruhnya.
Upaya itu, lanjutnya, sudah dilakukan bangsa Indonesia melalui berbagai cara sehingga posisi para pegiat gerakan radikal dan teror di dalam negeri semakin terdesak hingga diiharapkan kondisi ini bisa terus dipertahankan, bahkan aksi radikal dan teror tidak lagi digemari oleh rakyat Indonesia, terutama oleh kalangan anak-anak muda.
Dia menuturkan hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan ajaran radikalisme sudah mulai masuk ke dunia kampus. Indikasinya berupa tindakan dan perilaku mahasiswa yang cenderung anti kepada perbandingan mazhab dan monolitik.
Dengan menghindari perbincangan perbandingan mazhab dan pemikiran maka menjadikan mahasiswa berpikiran sempit yang pada akhirnya akan menjurus pada sikap radikal, karena tidak terbiasa menghadapi perbedaan. Kondisi menjadi problem bagi seluruh rakyat Indonesia.
BNPT yang mengemban tugas memberantas gerakan radikal teror telah menyusun berbagai strategi, satu di antaranya soft approach atau pendekatan lunak. Misalnya kegiatan yang dilakasnakan bersama para mahasiswa yang tergabung dalam wadah Duta Damai ini, merupakan upaya-upaya penangkalan dini sekaligus penguatan generasi muda untuk menolak atau mencegah radikalisme. ( smh)