Home > HEADLINE > Perubahan Tanggal HPN Kurang Relevan Dari Sisi Landasan Historisnya

Perubahan Tanggal HPN Kurang Relevan Dari Sisi Landasan Historisnya

SEMARANG[Kampusnesia] – Gagasan untuk merubah tanggal peringatan Hari Pers Nasional (HPN) oleh Dewan Pers atas usulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dinilai kurang relevan dan tidak tepat dari sisi historis yang meletarbelakanginya.

H Soetjipto SH, MH tokoh pers Jateng mengatakan HPN yang ditetapkan pada tanggal 9 Pebruari melalui keputusan Presiden (Kepres) tahun 1985 memiliki landasan historis yang sangat kuat. Berkumpulnya para wartawan yang pro kemerdekaan RI di Solo enam bulan setelah proklamasi memiliki makna patriotis yang sangat tinggi.

“Untuk datang ke Solo mereka harus menembus blokade Belanda, resikonya sangat besar sekedar hanya untuk mendekkarasikan hadirnya organisasi pers yang pro Republik, jangan hanya dilihat PWI nya saja, tetapi resapi tekad para wartawan pejuang itu dalam memberikan kontribusi untuk mendukung kemerdekaan Indonesia,” ujarnya, di Semarang, akhir pekan lalu di Semarang.

Menurutnya, keinginan dua organisasi kewartawanan mengirim surat kepada Dewan Pers (DP) agar mengagendakan perubahan tanggal HPN itu sangat disayangkan. Semestinya kalau dalam berbagai penyerlenggaraan HPN ada kekurangan, sebagai konstituen DP kedua organisasi kewartawanan itu bisa menyampaikan secara baik-baik, duduk satu meja mencari solusi agar agenda HPN berikutnya bisa berjalan lebih baik.

Terkait dengan reaksi para wartawan anggota PWI dari seluruh penjuru tanah air yang menolak keinginan itu merupakan sesuatu yang wajar. PWI sebagai organisasi yang didirikan oleh para wartawan dan pejuang kemerdekaan memiliki kewajiban untuk menjaga nilai-nilai kejuangan para pendahulunya yang turut berjuang mendirikan dan mempertahankan negeri ini.

Usulan pergantian HPN menjadi tanggal 23 September karena mengacu pada saat pengesahan UU No 40/1999 tentang Pers yang mendorong terwujudnya kemerdekaan pers dirasa kurang tepat. Oleh karena itu kalau dalam agenda rapat DP 18 April lalu tidak mengambil keputusan untuk mengganti tanggal HPN merupakan langkah yang tepat.

PWI, lanjutnya, sebagai organisasi tertua dan terbanyak jumlah anggotanya mesti harus didengar suaranya oleh DP.

DP sekarang dipimpin oleh salah satu anggota dari unsur organisasi kewartawanan yang mengusulkan perubahan itu, seharusnya bersikap obyektif dalam melihat realitas di lapangan.
Tidak boleh hanya memprioritaskan kepentingan salah satu konstituennya yang sekaligus mengesampingkan suara dari konstituen yang sikapnya berbeda dengan orgasnisasi yang menanunginya.

“Kepada anggota DP dari unsur PWI dan SPS kami berharap agar tetap berjuang dan konsisten dalam mempertahankan HPN pada setiap tanggal 9 Februari,” ujar Soetjipto yang juga dosen mata kuliah Hukum Komunikasi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. (smh).

* Artikel ini telah dibaca 64 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *