SEMARANG[Kampusnesia] – Luasnya wawasan keagamaan yang multi disiplin, bahkan lintas mazhab di kalangan santri menjadikan paradigma dan model keberagamaan mereka lentur, tidak rigid dan lebih siap dalam menerima berbagai perbedaan.
Ketua Bidang Penelitian dan Kajian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Jawa Tengah ( FKPT Jateng) Dr . Syamsul Ma’arif , M.Ag mengatakan tingkat kompetensi dalam penguasaan dan pengetahuan agama seseorang sangat mempengaruhi jalan fikiran dan langkah-langkahnya dalam merespon perbedaan.
Tidak salah jika ada asumsi yang menyebutkan bahwa kalangan santri lebih siap menerima kehadiran asas Pancasila dalam negara Indonesia yang penuh dengan keragaman ini mulai dari suku, agama, ras, budaya, adat, bahasa dan sebagainya “ujar Syamsul Maarif dalam diskusi dwi mingguan, di Semarang awal pekan ini.
Menurutnya, dengan mempertimbangkan realitas pluralitas masyarakat Indonesia , generasi santri pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan yang dimotori KH Wahid Hasyim dan KH Masykur yang kemudian berlanjut ke generasi di era Orde Baru yang dimotori KH Achmad Shidiq Jember dan Gus Dur tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara di tengah pluralitas yang ada.
Bahkan, lanjutnya, hingga era sekarang yang populer dengan era milineal komunitas santri tetap terdepan dalam mengawal NKRI, yang dirumuskan oleh para founding fathers Indonesia yang diantara mereka terdapat beberapa orang dari kakangan santri itu.
Dalam konteks kekinian bahkan lebih atraktif dengan keterlibatan sebagian dari kalangan santri yang sangat akrab dengan isu-isu dan mengadvokasi persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, dia menambahkan mereka juga menyuarakan dengan lantang tentang keadilan, persamaan gender dan melawan setiap ketidakadilan.
Karakter seperti ini sangat bertolak belakang dengan model-model yang ditempuh oleh generasi now di kawasan perkotaan yang dalam pembentukan identias Islamnya lebih menonjolkan sisi normatif dan simbolik.
Dia menenuturkan generasi now di perkotaan itu dalam mempelajari dan mendalami agama lebih memilih menempuh jalan pintas, mudah, instan dan simpel.
“Produk identitas muslim seperti ini lebih laris manis dan digandrungi anak-anak muda perkotaan yang latar belakang dan lingkungannya lebih modern dari kaum santri,” tuturnya.
Anehnya, ujar Syamsul Maarif, dengan bekal kemodernan yang melekat pada mereka ketika berhadapan dengan gelombang globalisasi yang sarat dengan kompetisi, mereka cenderung tertutup dan reaksioner. Dunia Barat yang lebih maju dihadap-hadapkan dengan Islam secara diameteral. (smh)