SEMARANG[Kampusnesia] – Pemprov Jateng bakal menyelenggarakan konggres sampah untuk pertama kalinya di Indonesia yang berlangsung selama dua hari pada 12 dan 13 Oktober mendatang, sebagai upaya untuk melahirkan sistematika persampahan mulai hulu sampai hilir, dari produksi sampah hingga pemanfaatannya.
Jumlah sampah di Jateng saat ini per tahun mencapai 5,7 juta ton atau 15.671 ton per hari. Sementara untuk mengatasi jumlah tersebut, Jateng hanya memiliki kekuatan 1.562 bank sampah, 144 TPA 3 r dan 542 rumah rosok yang bisa mengurangi 267.861 atau hanya 4,71%.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan diperlukan sistematika yang jelas agar persoalan sampah bisa teratasi.
“Selama ini banyak orang bicara, saya punya bank sampah, punya relawan dan lainnya. Atau bahkan ada ungkapan ini mesti diselesaikan pemerintah dengan membayar orang. Tapi semua itu sudah ada dan ternyata persoalan sampah itu juga belum bisa kita tangani,” ujarnya, Selasa (8/10).
Menurutnya, untuk ditingkat nasional total sampah mencapai 67 juta ton per tahun. Sampah organik dan plastik masih mendominasi dengan persentase, 60% untuk organik dan 15% untuk plastik. Sedangkan kekuatannya hanya ada 9.550 kolaborator yang menangani pengurangannya.
Bahkan, lanjutnya, berdasarkan data the world bank pada 2018, 87 kota di pesisir Indonesia memberikan kontribusi sampah ke laut sekitar 12,7 juta ton. Dengan komposisi sampah plastik mencapai 9 juta ton.
“Ide-ide yang berserakan soal sampah itu kami tata dulu sejak sebelum pelaksanaan kongres sampah. Soal plastik misalnya. Eh kamu itu penyumbang sampah besar. Yang industri kresek sudah bilang mereka menyumbang sampah plastik hanya sebesar 6%. Selebihnya multilayer, lebih berbahaya karena tidak bisa diolah. Yang begini kita minta disistematisasi,” tutur Ganjar.
Sistematika sederhana yang telah dihasilkan forum pra konggres sampah itu, menurutnya, mencakup persoalan sampah di hulu yang meliputi perilaku masyarakat, di hilir yang mencakup pemanfaatannya dan di antara keduanya terdapat pengelolaan.
Dalam konggres sampah, dia menambahkan bakal ada beberapa sidang komisi beranggotakan akademisi, birokrat, masyarakat dan aktivis yang akan mengidentifikasi dan mengeluarkan keputusan terkait beberapa persoalan itu.
“Dengan demikian, diharapkan dari konggres sampah ini akan ada keluaran, ada yang fokus menangani perilaku masyarakat yang mesti berubah, ada yang fokus regulasi, harus ada tempah sampah misalnya, atau ada solusi lain. Teknologi sampah yang sudah ada akan bermanfaat jika perilaku kita sudah tertata,” ujarnya.
Namun, tutur Ganjar, persoalan sampah bukan pekerjaan ringan. Dari pengalaman konggres sungai yang telah berjalan selama empat tahun ini mampu menhasilkan cukup baik. Konggres sungai tersebut merupakan manifestasi gerakan penyadaran bahwa sungai merupakan salah satu bagian terpenting negara maritim bukanlah sekedar tempat pembuangan akhir.
Dari konggres sungai tersebut lahirlah sekolah sungai di beberapa daerah di Jateng yang bergerak minimal menjaga kebersihan dan mengedukasi masyarakat untuk merawat sungai.
“Saya tidak bisa memprediksi sampai berapa tahun akan dilakukan tapi gerakan harus kita dorong dan perilaku kita tanamkan. Kalau saya ngobrol dengan beberapa pemerintahan, Jepang misalnya saya tanya mereka saja butuh waktu 50 tahun untuk mengubah perilaku warganya. Maka dalam konggres ini kita undang seluruh daerah agar bareng-bareng mewujudkan spirit ini,” tuturnya. (rs)