Oleh: Abu Rokhmad Musaki
Pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara, termasuk Indonesia sejak Maret lalu sangat berdampak luas bagi masyarakat. Bukan hanya dampak kesehatan yang terasa, tetapi juga psikologis, sosial, keagamaan dan juga ekonomi masyarakat.
Hingga Kamis (23/4), data Gugus Tugas Covid-19 menyebut 7.775 orang positif terinfeksi Covid-19. Pasien sembuh sebanyak 960 orang dan pasien meninggal sebanyak 647 orang. Masyarakat tidak tahu, sampai kapan darurat Covid ini segera berakhir.
Untuk menangani pandemi Covid-19 ini, pemerintah tampaknya menggunakan pendekatan kesehatan semata. Ini yang menyebabkan masyarakat agak bingung dan sedikit panik. Misalnya, berkali-kali pemerintah mengatakan kalau mau keluar rumah, masyarakat wajib menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, social atau psychical distancing dan mencuci tangan sesering mungkin dengan memakai sabun.
Tetapi pada saat yang sama, pemerintah menganjurkan masyarakat untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Akibatnya, ekonomi masyarakat mandeg bahkan minus. PHK terjadi di mana-mana, masyarakat tidak bisa bekerja atau tetap bekerja tetapi tidak mendapatkan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat diujung tanduk. Ibarat buah simalakama, jika ia bekerja takut tertular Corona, tetapi jika tidak bekerja anak dan isteri tidak bisa makan.
Meski sudah menerapkan protokol kesehatan secara ketat, pemerintah dan dokter ternyata tetap tidak berani menjamin 100 % (tidak tertular). Pemerintah mengambil kebijakan yang paling aman, yaitu mendorong masyarakat agar belajar, beribadah dan bekerja di rumah. Sekalipun kebijakan ini menyebabkan masyarakat kena PHK dan tidak bisa bekerja seperti biasanya. Inilah yang membingungkan.
Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, MUI mengeluarkan fatwa yang sangat progresif dalam membantu pemerintah menangani Covid-19 dan dampaknya. Fatwa MUI Nomor 23 tahun 2020 tentang Pemanfaatan Harta Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS) untuk Penanggulangan Wabah Covid-19 dan Dampaknya ini sangat penting dalam upaya membantu pemerintah untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat wabah ini.
Dalam fatwanya, MUI melonggarkan batasan-batasan fiqh zakat yang selama ini menyebabkan badan atau lembaga amil zakat tidak leluasa memanfaatkan zakat untuk membantu berbagai macam kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak. Kendala utamanya adalah fiqh, pemahaman dan penafsiran terkait ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat) yang delapan.
Dalam fatwa MUI disebutkan, harta zakat boleh didistribusikan dalam bentuk uang tunai, makanan pokok, keperluan pengobatan, modal kerja dan (hal-hal lain) yang sesuai dengan kebutuhan mustahiq. Dengan ketentuan ini, para pekerja (entah karena PHK atau sebab lain) yang terdampak ekonominya akibat Covid-19 dapat memanfaatkan haknya. Para pekerja ini, mungkin sebelumnya berstatus sebagai muzakki (pemberi zakat), tapi karena keadaan wabah, sebagian mereka mungkin telah berubah status menjadi mustahiq (yang berhak menerima zakat), seperti fakir, miskin, atau sedang terlilit hutang.
Yang menarik, di dalam fatwa ini MUI juga membolehkan zakat didistribusikan untuk kepentingan kemaslahatan umum, namun harus memenuhi dua ketentuan.
Pertama, penerima zakat termasuk golongan (asnaf) fi sabilillah. Fi sabilillah berarti mereka yang sedang berjuang di jalan Allah Swt. Dalam konteks pandemi, para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain, termasuk pembimbing rohani, cleaning service, sopir ambulan dan lain-lain yang sedang berjuang merawat pasien Covid, merupakan ashnaf fi sabilillah.
Kedua, zakat juga boleh dimanfaatkan untuk membeli alat pelindung diri (APD), disinfektan dan pengobatan, serta berbagai macam kebutuhan yang dibutuhkan oleh relawan yang bertugas melakukan aktifitas kemanusiaan dalam penanggulangan wabah. Berbagai macam kebutuhan itu bisa jadi makanan, minuman, vitamin dan suplemen lain yang dibutuhkan.
Dalam fatwanya, MUI juga juga menegaskan bahwa penanggulangan wabah Covid-19 dan dampaknya yang tidak dapat dipenuhi melalui harta zakat, dapat dipenuhi dari sumber infaq, shadaqah dan sumbangan halal lainnya.
Berdasarkan fatwa di atas, badan dan lembaga amil zakat dapat segera merumuskan aksi nyata membantu masyarakat yang ekonominya menurun akibat Covid-19. Sebelum ZIS dibagikan, tentu badan atau lembaga amil zakat hingga jajaran ke bawah harus mempersiapkan mekanisme pendistribusian yang merata dan aman menurut protokol kesehatan. Jangan sampai, pembagian ZIS justru menimbulkan kerumunan yang berpotensi menularkan penyakit.
(Abu Rokhmad Musaki, Guru Besar FISIP UIN Walisongo/Sekretaris Komis Hukum MUI Jawa Tengah/ Koordinator DSN MUI Perwakilan MUI Jawa Tengah)