Home > HEADLINE > Ratusan Buruh Semarang Gelar Aksi Kembali Turun Ke Jalan

Ratusan Buruh Semarang Gelar Aksi Kembali Turun Ke Jalan

SEMARANG[Kampusnesia] – Ratusan buruh yang tergabung dalam FSPMI KSPI Jateng kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Pintu Gerbang Halaman Kantor DPRD Jateng, di Jalan Pahlawan Semarang, Rabu (29/7).

Mereka kembali mendesak untuk pencabutan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan dibahas lagi ditingkat DPR-RI.

Massa buruh itu untuk kesekian kalinya menggelar demo menuntut hal serupa seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu, bahkan di masa pandemi Covid-19 ini mereka kembali turun ke jalan.

Koordinator aksi Aulia Hakim mengatakan massa buruh turun ke jalan kembali, karena mengetahui pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja akan dilanjutkan lagi oleh DPR-RI.

“Aksi buruh FSPMI KSPI turun ke jalan lagi, untuk menuntut RUU Cipta Lapangan Kerja yang dilanjutkan pembahasannya dibatalkan. Padahal sesuai komitmen, harusnya ditunda dulu, fokus ke Covid-19,” ujar Hakim, Rabu (29/7).

Menurutnya, pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja ini diduga merupakan titipan dari pengusaha, sehingga pembahasannya kembali dilanjutkan kembali di masa pandemi.

“Omnibus Law bukanlah solusi untuk menyelamatkan ekonomi di tengah badai krisis ekonomi yang sedang terjadi. Karena itu pembahasan Omnibus Law harus segera dihentikan,” tuturnya.

Bukan hanya itu, lanjutnya, massa buruh FSPMI KSPI juga menilai adanya notulensi Dewan Pengupahan Jawa Tengah dalam rapat pemerintah Provinsi Jawa Tengah, pada 11 Mei 2020.

Pada notulensi tersebut, dia menambahkan terdapat kalimat yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 adalah kondisi force major. Hal ini, bagi massa buruh FSPMI KSPI, dewan pengupahan Jawa Tengah melampaui kewenangannya dalam menyatakan hal tersebut.

“Kita lihat saja kepala daerah tidak ada yang menyatakan itu. Kenapa dewan pengupahan Jateng bisa menyatakan hal demikian. Menurut kami sangat tidak wajar,” ujarnya.

Hakim menuturkan, notulensi dari dewan pengupahan Jateng itu bisa berakibat fatal bagi buruh, mengingat bisa saja perusahaan memutus hubungan kerja buruh dengan alasan force major, sehingga dapat mengesampingkan hak buruh.

“Bisa saja demikian, perusahaan tutup dan pecat buruh alasannya force major sehingga tidak memberikan pesangon yang layak. Maka itu, kami juga menuntut notulensi tersebut dihapus dari hasil rapat 11 Mei 2020 lalu,” ujarnya. (rs)

* Artikel ini telah dibaca 27 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *