Oleh: Suryanto
Saat ini umat Islam di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa 1442 Hijriah, tanpa terkecuali umat Islam di Indonesia, yang jumlahnya konon mencapai 95%.
Tujuan ibadah puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga kita siap mendapatkan derajat takwa yang menjadi puncak kebahagiaan (surga) dengan kehidupan abadi di dalamnya.
Bahkan menjalankan ibadah puasa bukan hanya sekedar menjaga nafsu terhadap lapar dan dahaga, mengingat keadaan orang-orang yang menderita kelaparan di antara orang-orang miskin, hingga menyempitkan jalan setan dalam diri kita.
Akan tetapi juga menjaga hati dari berbagai penyakit yang bisa menjerumuskan manusia dari jurang kehancuran. Misalnya, menjaga hati untuk tidak berburuk sangka, bersikap sombong, congkak, iri atau hasad, dengki, riya, merendahkan orang lain, bakhil alias kikir, dan berbagai penyakit hati lainnya.
Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal ini, dia lebih penting dari pada tubuh. Allah SWT berfirman, artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.” (Al-An’am : 122)
Artinya, dia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi’at dasarnya dia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Dia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tidak juga menyadari. Karena dia tidak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, dia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Dia juga tidak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil.
Ibadah Untuk Allah SWT
Puasa adalah untuk Tuhan/Allah semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain. Artinya, kita diharuskan meninggalkan segala yang kita cintai karena kecintaan kita kepada Allah SWT.
Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi.
Puasa juga berarti rahasia antara hamba dengan Allah. Bisa jadi kita menghindari hal-hal yang membatalkan puasa secara nyata, namun tidak diterima di sisi-Nya karena ingin dikatakan sedang berpuasa oleh orang lain. Puasa yang dilakukan semata-mata mengharapkan ridho Allah SWT merupakan hakikat puasa Ramadhan yang sesungguhnya.
Menjalankan Puasa Ramadhan seakan Meneladani Sifat-Sifat Allah SWT, beragama menurut beberapa Ulama berarti upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Hal ini juga didasari oleh hadis Nabi SAW yang yang berbunyi, “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah/teladanilah sifat-sifat Allah).
Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, seperti kebutuhan fa’ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah SWT memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An’am: 101) Dan sesungguhnya Maha tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin: 3).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi meliputi Asmaul Husna sebanyak 99 sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran kita, bukan pada sisi lapar dan dahaganya sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi SAW menyatakan bahwa, “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga”
Keberadaan Hati, Lisan Dan Akal
Terdapat tiga komponen penting pada diri manusia, yakni hati, akal, dan lisan. Tiga komponen ini akan baik jika dirawat dengan baik. Sebaliknya, ketika tidak dirawat, tentu akan menimbulkan malapetaka dan bencana, baik bagi diri maupun orang lain. Karena itu, setiap manusia penting untuk menjaga ketiganya dari penyakit berbahaya.
Penyakit hati adalah menganggap rendah orang lain (takabbur), merasa dirinya adalah yang terbaik (‘ujub), riya, pelit (bakhil) hasud, dan lain sebagainya. Penyakit lisan adalah berdusta, berkata kotor, menipu, mengejek, menghina, menggunjing, bersilat lidah, bertengkar, berdebat secara berlebihan, dan lain sebagainya.
Sedangkan penyakit kecerdasan akal adalah percaya diri berlebihan sehingga suka meremehkan, kesombongan intelektual yang menghilangkan akhlaq al-karimah, merasa superior dan berkualitas padahal sesungguhnya lemah dan tidak mempunyai apa-apa, dan lain sebagainya.
Orang beriman senantiasa merindukan datangnya Ramadhan. “Ya Allah sampaikan kami pada bulan Ramadhan,” demikian doa yang dipanjatkan. Puasa merupakan ibadah intim seorang hamba kepada Sang Pencipta. Puasa juga merupakan ibadah tertua dalam peradaban manusia, yakni sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW.
Puasa menjadi sarana mensucikan hati dan jiwa agar taat kepada perintah-Nya, sekaligus mengobati dan menjadi terapi kesehatan manusia. Ramadhan merupakan bulan pendidikan rohani yang melatih keuletan, kejujuran, kesabaran serta menjadi pakem menahan gejolak nafsu yang mendorong hamba melakukan dosa dan kesalahan.
Imam Abdurrahman al-Shafury dalam kitab ‘Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab al-Nafais’ menjelaskan, kata Ramadhan terdiri dari 5 kata, yakni: ra (ridwanullah) berarti keridhaan Allah, mim (maghfirah) berarti ampunan-Nya, dhad (dhimanullah) berarti jaminan keamanan dari Allah SWT, alif (ulfah) berarti kelembutan, dan nun (nawalullah) berarti pemberian dari Allah SWT.
Terdapat banyak penjelasan dari Rasulullah Muhammad SAW terkait keutamaan bulan Ramadhan. Salah satunya yang meriwayatkan bahwa Rasululah mengisi Ramadhan dengan memperbanyak membaca Al Quran, memahami dan merenungi kandungannya, serta mengamalkannya.
Dalam menyambut Ramadhan ini, pesan hadits di atas seyogyanya direnungkan sebagai modal membangun karakter (character building) dan merevolusi mental. Ramadhan menjadi momentum mempraktikan nilai-nilai ideal dalam realitas kehidupan hingga tidak tercipta kesenjangan sosial yang kian tajam.
Memahami pentingnya kejujuran dengan tidak berbuat curang dan penipuan. Memahami keadilan penguasa dengan tidak korup dan mengeksploitasi alam. Mendakwahkan ayat-ayat Tuhan tanpa mencampurinya dengan syahwat politik kekuasaan.
Ketika seseorang menghendaki hati, lisan dan kecerdasan akalnya memiliki pancaran cahaya yang menyelamatkan, tentunya Al Quran adalah pedoman dan pusaka yang paling ampuh. Sedangkan untuk merawat kesucian hati, lisan, dan kecerdasan akal, puasa adalah kunci utamanya. Selamat menjalankan ibadah Puasa.
(Suryanto Ssos MSi Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang)