Home > HEADLINE > Pelecehan Seksual Berkedok Agama

Pelecehan Seksual Berkedok Agama

Pelecehan Seksual Berkedok Agama

Oleh : Raihan Ramadhan Zain
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang

Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk tindakan berorientasi seksual yang dilakukan secara memaksa tanpa kehendak dari korbannya. Pelecehan seksual dapat berupa tindakan secara verbal maupun nonverbal. Mungkin beberapa dari kita menganggap bahwasannya kasus pelecehan seksual itu identik dengan si pelaku yang memiliki latar belakang buruk seperti pemabuk, pecandu obat-obatan terlarang, atau latar belakang kriminal lainnya. Namun, akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang menggemparkan media sosial dimana pelaku pelecehan seksual justru dilakukan oleh orang yang paham agama atau dengan kata lain disebut sebagai “Alim”.
Seperti yang telah kita ketahui, fenomena pelecehan seksual adalah bentuk dari kejahatan kriminal. Artinya, tindakan tersebut dapat mengancam keselamatan, kesejahteraan, mengakibatkan trauma mendalam, serta melanggar hukum yang berlaku di masyarakat. Seseorang dapat disebut alim apabila dirinya memiliki wawasan yang luas, terperinci, serta terstruktur di bidang tertentu. Namun apabila dikaitkan dengan konteks Islam, seseorang dapat disebut alim apabila dirinya memiliki wawasan yang terperinci tentang Islam. Untuk menjadi alim, penting bagi nya untuk mengenyam pendidikan yang mendalam dan maksimal di bidang yang Ia minati. Tak hanya itu, alim juga harus memiliki kecakapan untuk menerapkan wawasan yang dimilikinya dengan cara yang akurat. Dengan demikian, menjadi alim bukan hanya tentang mempunyai wawasan yang luas, namun juga tentang kecakapan untuk memaknai, mempraktikkan, dan mengasah wawasan tersebut secara benar supaya bermanfaat bagi masyarakat.
Kontradiktif dengan makna kata alim, di media sosial sendiri kasus-kasus pelecehan seksual telah banyak diberitakan. Seperti halnya: kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru pesantren inisial HW di Bandung sejak tahun 2016 hingga 2021 ini dengan menodai 13 santriwati dan 8 diantara mereka sudah menimang anak (kompas.com/01/04/2023). Kemudian berantai kekasus lain pada 2021 silam, seorang Pendeta di Bogor telah melakukan pelecehan seksual berkedok pengudusan dengan dalih supaya korbannya cepat mendapat pekerjaan dan jodoh (bbc.com/17/04/2021).
Berpijak pada kasus diatas, pelecehan seksual sejatinya bisa terjadi dimana saja baik itu di tempat kerja, di instansi pendidikan, di tempat umum, di rumah, dan bahkan di media sosial. Pelaku pelecehan seksual juga bisa dilakukan oleh siapa saja baik itu orang yang dikenal maupun orang yang asing. Sudah semestinya apabila tindakan pelecehan seksual dikategorikan kedalam kejahatan kriminal yang harus dikenakan sanksi hukum berat sebab tindakan tersebut dapat menyebabkan trauma, stress , depresi, kecemasan, hilangnya kepercayaan diri bahkan nyawa dari korban.
Hal ini dapat kita lihat hasil database dari Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), terdapat 25.050 perempuan telah menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut mengalami penaikkan 15,2% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 21.753 kasus (dataindonesia.id/7/2/2023). Sepanjang 2022, melalui MURI (Monthly Update on Religious Issues in Indonesia) menghimpun data kekeraan seksual di institusi agama, lebih dari 10 anak mengalami kekerasan seksual di majlis taklim, lebih dari 5 anak di gereja, lebih dari 50 santri di pondok pesantren, dan lebih dari 30 siswa di sekolah. Tentu saja, data tersebut hanyalah secuil dari puncak gunung es dan pastinya masih ada banyak lagi kasus-kasus yang belum terungkap media.
Menanggapi fenomena kasus pelecehan seksual yang ada di Indonesia, terdapat lima faktor yang umumnya menyebabkan aksi tersebut terjadi. Pertama, masih menguatnya nilai budaya patriarki dimana seorang laki-laki masih dianggap memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada seorang perempuan dalam kehidupan sosial dan politik, hal ini dapat menyulut terjadinya diskriminasi terhadap perempuan, salah satu nya pelecehan seksual. Kedua, banyak orang di Indonesia masih kurang teredukasi tentang apa itu pelecehan seksual ( baik dari segi pencegahan maupun penanganan ) hal ini bisa memperburuk situasi dan memungkinkan pelecehan seksual terus terjadi tanpa adanya tindakan yang tepat. Ketiga, kesenjangan ekonomi yang besar di Indonesia juga bisa memperburuk situasi terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dimana kejahatan seksual bisa terjadi lebih sering. Keempat, media pornografi yang kini sangat mudah diakses dapat memicu bangkitnya tindakan pelecehan seksual. Kelima, kurangnya penegakan hukum yang efektif dan tegas terhadap pelaku pelecehan seksual bisa memberikan sinyal bahwa tindakan tersebut bisa dilakukan tanpa adanya konsekuensi yang serius.
Menilik Qs. Al-Isra ayat 32 yang berarti: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesengguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji, dan jalan yang buruk”. Sudah selayaknya bahwa kita bisa menjadikan ayat tersebut sebagai pedoman untuk evaluasi diri supaya berpikir panjang sebelum melakukan tindakan buruk seperti zina. Selain itu, ayat tersebut juga menegaskan pentingnya menjaga kemurnian diri dan senantiasa berperilaku baik, sehingga dapat menjaga kehormatan diri sendiri maupun orang lain.
Oleh karenanya, maka sudah sejatinya untuk tiap individu dapat mengetahui tips agar terhindar dari pelecehan seksual. Pertama, menjaga batasan diri dan jangan ragu untuk mengatakan “tidak” apabila ada orang yang mencoba melakukan tindakan tak senonoh. Jangan pernah merasa bersalah atau ragu untuk menolak tindakan yang membuat kita merasa tidak nyaman. Kedua, jangan pernah lengah dalam situasi yang dapat menimbulkan terjadinya pelecehan seksual, jika sudah merasa tidak aman, segeralah mencari bantuan atau hubungi pihak berwenang.
Pelecehan seksual dapat terjadi secara verbal maupun non-verbal. Oleh karena itu, penting bagi kita mengetahui tanda-tanda pelecehan seksual dan jangan ragu untuk berbicara dengan orang yang dipercaya mengenai situasi yang sedang dialami. Jika mengalami pelecehan seksual, jangan sekali-kali untuk menyalahkan diri sendiri atau merasa malu meminta bantuan. Segera cari bantuan dari sumber-sumber yang dapat membantu mengatasi situasi tersebut, seperti keluarga, teman, atau lembaga yang menangani pelecehan seksual. Ingatlah bahwa korban tidak sendiri dan korban berhak untuk merasa aman dan terlindungi dari pelecehan seksual.

Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, kita perlu menegakkan nilai-nilai yang berlandaskan pada rasa hormat dan kesetaraan antara manusia. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan memberantas pelecehan seksual agar tidak terjadi lagi di masa depan. Dengan memahami pentingnya pendidikan tentang pelecehan seksual dan terus mengedukasi diri, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan terbebas dari pelecehan seksual.

Penulis : Raihan Ramadhan Zain

Editor    : Hedy Rahmad

* Artikel ini telah dibaca 173 kali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *