Gelar Sarjana Tinggi Tidak Menjamin Mempunyai Moralitas Yang Baik
Oleh: Aufa Lonosky
Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
Pendidikan sejatinya tidak hanya untuk sekedar ilmu pengetahuan saja, tetapi bagaimana kita bisa mengimplementasikan ilmu tersebut dalam keseharian kita. Tujuan adanya pendidikan ini seharusnya menjadikan kita manusia yang lebih unggul dan berbudi pekerti serta bermoral baik. Namun sayangnya banyak sekali masyarakat kita sekarang ini melupakan pentingnya moralitas dalam kehidupan. Banyak sekali permasalahan yang muncul seperti korupsi, kriminalitas dan pelecehan. Lucunya, oknum yang melakukan kejahatan tersebut ialah orang yang berpendidikan. Tidak satu atau dua kali bahkan setiap tahunnya selalu muncul permasalahan yang baru. Padahal tingkat pendidikan di Indonesia ini sudah terbilang cukup tinggi. Akan tetapi dalam realitanya masih banyak yang belum mengerti tentang hukum moralitas itu sendiri.
Pendidikan di Indonesia ini hanya mengajarkan bidang keilmuan saja, yang pada akhirnya membuat para masyarakat ini merasa lebih unggul. Sedangkan pendidikan tentang moralitas dan budi pekerti cenderung sangat diilupakan. Oleh sebab itu, banyak pelaku kejahatan yang di dominasi oleh orang-orang cerdas. Salah satunya ialah pelaku kriminalitas yang berpendidikan di Indonesia saat ini ialah Polisi yang berpangkat tinggi melakukan pembunuhan terhadap ajudanya sendiri. Aksi pembunuhan tersebut dilakukanya pada Jumat, 8 Juli 2022. Polri mengungkapkan, Pelaku marah dan emosi setelah mendapatkan laporan dari istrinya telah menerima tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang yang dilakukan anak buahnya. Pelaku tersebut lantas memanggil anak buahnya yang lain untuk melakukan perencanaan pembunuhan. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Dirtipidum Bareskrim Polri, kepada media pada kamis malam (nasional.tempo.co 11/8/2022).
Tidak sedikit orang mengetahui bahwasanya pendidikan tidak menjamin seseorang memiliki moralitas yang baik. Banyak sekali orang-orang yang memiliki jabatan tinggi selalu di segani dan di hormati oleh sekelompok orang. Hal tersebut membuat oknum yang memiliki jabatan tinggi tersebut selalu merasa lebih unggul dari pada orang sekitarnya dan merasa memiliki hak kekuasaan terhadap hal tertentu.
Hal tersebut masyarakat mendefinisikan bahwa orang cerdas dan berpendidikan menjadi orang jahat yang tidak bermoral dan menindas kaum lemah. Padahal seharusnya mereka menjadi orang yang memberi pertolongan dan pemimpin yang baik untuk memberi manfaat pada masyarakat. Namun, kenyataanya jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar sarjana, doctor dan professor tidak cukup untuk mengubah tindakan maupun sifat seseorang.
Tidak hanya kasus Polisi saja, beberapa bulan yang lalu beredar berita dari mahasiswi Universitas Sriwijaya (UNSRI), Palembang, Sumatra Selatan, yang mengaku telah dilecehkan dan mengalami kekerasan seksual oleh dosen pembibingya. Kejadian tersebut berlangsung pada hari Sabtu (25/08/2021). Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 6 tahun terhadap oknum dosen Universitas Sriwijaya (Unsri) atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Vonis tersebut dibacakan ketua majelis hakim yang disaksikan oleh terdakwa selaku dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Unsri secara daring, Kamis (nasional.tempo.co 14/04/2022)
Kasus tersebut sudah tersebar di berbagai media. Dosen yang seharusnya menjadikan contoh yang baik oleh mahasiswanya, namun malah sebaliknya. Kita tahu bahwa seseorang dosen memiliki gelar pendidikan yang tinggi namun tidak semua dosen memiliki moralitas dan intregitas yang baik. Hal tersebut menjadikan pelajaran bagi semua mahasiswi untuk tetap berhati-hati, waspada dan tetap menjaga diri.
Semua kasus ini sebenarnya bisa di picu oleh beberapa faktor. Sigmun Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seseorang melakukan kejahatan yaitu ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego. Sebenarnya pemahaman moral tentang benar maupun salah yang telah di tanamkan sejak dini harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol id. Namun jika pemahaman moral berkurang dan superego tidak berkembang sempurna, akibatnya anak tumbuh menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan id nya. Hal tersebut menyebabkan anak melakukan hal menyimpang tanpa merasa bersalah.
Freud juga menjelaskan kejahatan itu terjadi akibat adanya prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Maka dari itu, manusia alamiahnya tidak akan pernah merasa puas apa yang mereka lakukan. Namun hal tersebut bisa di imbangi bagaimana kita bisa memiliki moralitas dan budi pekerti yang baik dalam melakukan hal sesuatu.
Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa pendidikan itu dapat mengubah pola pikir seseorang dan memberikan seseorang pengetahuan dalam bidang tertentu namun tidak mengubah karakter maupun sifat seseorang. Hal yang harus kita benahi adalah diri kita sendiri, mau berpendidikan tinggi atau tidak adalah sebuah pilihan yang kita ambil. Kita adalah manusia yang memiliki akal dan budi pekerti. Keistimewaan kita dalam hal berpikir jauh lebih sempurna daripada makhluk lainya. Marilah kita sama sama belajar bagaimana menjadi seseorang yang berakhlak dan mengedepankan moralitas dalam kehidupan.
Editor : Hedy Rahmad