Home > HEADLINE > Advokat dan Pencari Keadilan : Oleh Henny Natasha Rosalina

Advokat dan Pencari Keadilan : Oleh Henny Natasha Rosalina

Kampusnesia.com, Semarang Jawa Tengah – Hotman Paris melawan  Hotma Sitompul ? atau Hotman  bersitegang dengan Otto Hasibuan atau bahkan perseteruan Razman Nasution dengan bebrapa  advokat adalah contoh berita yang lumayan menggelitik rasa ingin tahu masyarakat awam. Advokat yang norak dan urakan atau advokat yang bermasalah dengan hukum, apapun itu berita mengenai advokat pastinya menarik untuk digoreng media. Belakangan  kita sering mendengar berita tentang kinerja dan sepak terjang advokat , beberapa yang viral adalah tentang Hotman Paris dan Hotma Sitompul ataupun tentang Razman Nasution dan masih banyak lagi yang penuh dengan kepelikannya masing-masing.

 

Profesi advokat sudah menjadi sangat familiar di tengah-tengah kita, advokat seolah menjadi kebutuhan setiap profesi untuk membantu dalam menjalankan usahanya masing-masing. Seorang advokat harus mampu dan mumpuni dalam menjalankan profesinya masing-masing, karena itulah kualitas advokat menjadi tolak ukur utama bagi masyarakat untuk mempercayakan permasalahannya agar dapat memperoleh keadilan yang semaksimal mungkin. Lalu bagaimana dengan fakta yang terjadi di masyarakat saat ini, dimana banyak sekali kasus-kasus yang terbengkalai tidak terselesaikan dikarenakan masyarakat sebagai pencari keadilan salah mempercayakan masalahnya kepada pemberi jasa keadilan yang ternyata tidak qualified untuk memberikan dan mengusahakan keadilan tertinggi untuk dirinya.

 

Para pencari keadilan lah tentunya yang sangat dirugikan disini, maka dari itu jika coba kita urai benang kusut akar permasalahannya adalah tidak adanya standarisasi kualitas yang sama yang harus dimiliki setiap Advokat di Indonesia. Untuk menjadi advokat memang banyak proses yang dilalui mulai dari menempuh Pendidikan hukum di universitas dan meraih gelar sarjana hukum, kemudian mengikuti Pendidikan Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang dilanjutkan kegiatan magang selama 2 tahun. Setelah itu dilanjutkan dengan mengikuti Ujian Profesi Advokat dan jika lulus barulah dilantik sebagai advokat dengan beberapa syarat-syarat yang salah satunya adalah sudah berusia 25 tahun.

 

Dengan begitu pelik dan terstrukturnya proses yang dilalui diatas lalu mengapa permasalahan kualitas jasa penyedia layanan hukum masih banyak dipertanyakan, artinya masih ada masalah dalam proses tersebut. Jumlah organisasi advokat yang lebih dari satu dianggap sebagai penyebab tidak adanya standarisasi kualitas advokat. Aturan yang tertuang dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang advokat jelas mendaulat Peradi sebagai Wadah tunggal organisasi advokat, namun dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No 073/2015 atas desakan pasar saat itu dimana syarat untuk menjadi advokat Peradi dinilai sangat sulit maka memberi kesempatan munculnya organisasi lainnya yang masih belum bubar sebagai paguyuban saat itu untuk ikut-ikutan melakukan pelantikan advokat.

 

Sampai saat ini yang terjadi di masyarakat adalah banyak sekali bermunculan organisasi advokat yang juga melakukan 8 wewenang yang diberikan Undang-Undang, yang salah satunya adalah melakukan pelantikan advokat. Tidak ada lagi standart kualitas yang sama karena advokat tidak melalui proses yang sama dalam menempuh Pendidikan dan ujian advokat di satu organisasi yang sama. Lalu bagaimana jika terjadi permasalahan internal mengenai advokat yang melanggar kode etik advokat ?

 

Faktanya walopun akhirnya advokat yang bermasalah ahirnya dipecat dari satu organisasi advokat, mereka masih bisa pindah ke organisasi lain dan mendapatkan kartu tanda anggota baru sebagai alat sah mengikuti persidangan dan memberikan jasa layanan hukum kembali. Intinya adalah kembali lagi bahwa yang dirugikan adalah masyarakat para pencari keadilan. Strata ekonomi masyarakat yang berjenjang tentunya membuat masyarakat tidak semuanya mampu memakai pola pikir jika advokat yang mumpuni adalah advokat yang laris, berkantor besar dengan bayaran selangit.

 

Tidak ada yang bisa dijadikan pegangan masyarakat untuk memakai jasa advokat pertama kali, mereka harus melewati pengalaman langsung yang mana jika beruntung akan mendapatkan advokat yang standart nya baik dan jika tidak ya harus maklum karena masalahnya menggantung karena advokatnya jadi-jadian, kelar tidak kelar masyarakat tetap harus bayar jasa karena prinsipnya advokat menang kalah tetap menerima bayaran.

 

Masalah standarisasi advokat ini harus segera dibenahi, karena sejauh ini sudah dibiarkan terlalu berlarut-larut sehingga tidak sedikit juga masyarakat pencari keadilan yang sangat dirugikan. Aturan hukum di Indonesia yang tertinggi setelah UUD 1945 dan TAP MPR adalah Undang-Undang dan sudah jelas memandatkan bahwa Peradi adalah wadah tunggal organisasi advokat, lalu mengapa bisa surat edaran yang hierarki nya tidak lebih tinggi dari Undang-Undang mengalahkan posisi Undang-Undang.

 

Sungguh ironis jika terus dibiarkan karena seharusnya surat edaran pun hanya bersifat sementara untuk mengatasi masalah yang terjadi mendadak dan jika dirasa sudah bisa mengendalikan situasi saat itu seharusnya segera dicabut bukan malah dibiarkan berlarut hingga menimbulkan banyak kekisruhan di masa depan. Filsuf Roscoe Pound mengatakan “ keadilan merupakan hasil-hasil konkret yang dapat diberikan kepada masyarakat”.  Ia melihat bahwa hasil yang didapatkan haruslah berupa pemuasan kebutuhan manusia semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin.

 

Selaras dengan pendapat Pound bahwa keadilan social bagi pencari keadilan haruslah diutamakan yaitu dengan pemenuhan standart kualitas pemberi jasa layanan bantuan hukum yang standart minimalnya sama baik, maka solusi yang harus dilakukan segera adalah mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung No 073/2015 dan mengembalikan marwah Undang-Undang advokat No 18 Tahun 2003 sebagai aturan hukum yang lebih tinggi yang mengamanatkan PERADI sebagai wadah tunggal advokat di Indonesia.

 

Walopun di dalam Peradi sendiri terjadi konflik dan perpecahan, biarlah hal tersebut menjadi permasalahan internal yang harus diselesaikan untuk menyatukan kembali Peradi, namun pada intinya marwah Undang-Undang harus dikembalikan  dan kepentingan masyarakat pencari keadilan harus diutamakan demi terpenuhinya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya pencari keadilan hukum. Damailah negeriku Indonesia dengan persatuan.

 

Penulis : Henny Natasha Rosalina

Editor    : Hedy Rahmad, MH

* Artikel ini telah dibaca 72 kali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *