Home > EDITOR'S CHOICE > Kemarahan Presiden Jokowi Dan Harapan Perbaikan Nasib Rakyat

Kemarahan Presiden Jokowi Dan Harapan Perbaikan Nasib Rakyat

                                                                         Oleh: Suryanto

Vedio Presiden Joko Widodo (Jokowi)  marah di depan para menteri yang viral di media massa cetak maupun elektronik, termasuk juga media sosial (medsos),  hingga saat ini masih menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Media ramai membiratakan perihal luapan kekecewaan dan kemarahan Jokowi kepada segenap jajaran tim kabinetnya. Dengan suara bergetar Jokowi marah besar hingga mengecam akan melakukan  reshuffle, bahkan akan membubarkan lembaga bila diperlukan.

“Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progress yang signifikan, enggak ada. Kalau minta perppu, saya buatin lagi perppu, asalkan untuk rakyat, untuk negara saya pertaruhkan reputasi politik saya,” ujar Jokowi saat itu.

“Jangan biasa-biasa saja. Jangan linear. Jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali,” ujarnya dengan nada tinggi. “Saya melihat masih banyak kita yang menganggap ini normal. Saya lihat masih banyak yang seperti biasa-biasaa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini enggak punya perasaan,” tutur Jokowi.

Kemarahan Presiden Jokowi itu disampaikan pada Rapat Terbatas yang dihadiri oleh seluruh anggota kabinet termasuk Kapolri, Panglima TNI, Ketua OJK, Gubernur BI, Kepala Gugus Tugas Penanganan Corona, dan lainnya. Kemarahan disebabkan  kecewa dengan kinerja menteri menghadapi pandemi Covid-19.

Kemarahan itu kemudian disiarkan lewat kanal resmi Sekretariat Kabinet. Media arus utama dan media sosial meledak. Untuk para pendukungnya, kemarahan presiden ini sekaligus memperlihatkan bahwa presiden tersandera oleh kepentingan-kepentingan besar yang tidak bisa dia kontrol. Alasannya, Jokowi adalah orang baik,  akan tetapi, dia selalu diganggu oleh partai-partai dan para pembencinya. Murkanya Presiden di depan umum ini dipandang sebagai jawaban atas semua itu.

Kemarahan seorang Presiden sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa beliau ingin menunjukkan keberpihakan, simpati dan berempati terhadap rakyat. Seharusnya pesan ini ditujukan bukan hanya kepada para menteri sebagai pembantu presiden, tetapi juga kepada perangkat birokrasi di level pelaksana kebijakan. Para menteri harus dapat mengendalikan dan mengontrol birokrasi, sehingga dapat bekerja sesuai dengan target-taret yang telah ditetapkan.

Kegagalan implementasi kebijakan dapat terjadi jika tidak adanya tujuan yang sama dan koordinasi antarmenteri, dan birokrasi di masing-masing kementerian yang di bawahnya.   Mereka, para menteri dan jajarananya dianggap tidak memiliki “sense of crisis” di tengah-tengah “extraordinary times” ini.

Kemarahan Presiden Jokowi seolah menjadi “embun sejuk” bagi masyarakat, ketika masyarakat sudah sekian lama mengalami berbagai masalah, kegundahan, kekhawatiran, bahkan kesulitan hidup akibat domino efek pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan akan berakhir.

Atau mungkin juga bisa menjadi semacam simbul kemarahan rakyat sebagai akibat dari tidak becusnya pemerintah dalam menaganani dampak bencana nasional non alam yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat. Mengingat kerja para menteri dianggap tidak maksimal, biasa-biasa saja, bahkan tidak ada progress yang signifikan bagi kehidupan masyarakat.

Sementara Presiden Jokowi mengharapkan para menterinya mestinya bekerja ekstra keras, tidak biasa, tidak linier, dianggap sama pada saat situasi normal, padahal sekarang ini situasi benar-benar tidak normal, sehingga adanya ketidaksesuaian kinerja yang diinginkan Jokowi dengan kerja para menterinya, sehingga beliau benar-benar kecewa.

Kemarahan Presiden Jokowi juga dapat dimaknai sebagai bentuk kecintaannya kepada rakyatnya yang selama ini mendukungnya, sehingga Presiden benar-benar cinta dan mendengar suara rakyat.  Bagaimana tidak, Jokowi dan rakyat Indonesia seolah seiring seirama dalam hal marah-marah. Sebuah tidakan yang harus kita apresiasi, dan rakyatnya ternyata sehati untuk marah-marah, karena berbagai kekecewaan yang sudah terlanjur berakumulasi.

Banyak problem yang membuat rakyat marah kepada pemerintah. Betapa tidak, sudah sejak awal rakyat kritik Jokowi gara-gara dianggap terlalu biasa-biasa saja menanggapi isu wabah Corona  ketika belum masuk di Indonesia. Jadi, selain marah saat tidak ada tindakan tegas dari pemerintah, rakyat juga terpancing emosinya ketika tagihan listrik tiba-tiba membengkak, BPJS dinaikkan, harga sembako juga ikut melambung, dan banyak problem yang makin memberatkan dihadapi rakyat.

Belum lagi soal penyaluran bantuan sosial (bansos) yang sangat amboradul menimbulkan kemarahan rakyat di mana-mana. Bansos seharusnya untuk masyarakat tidak mampu, kenyataanya  di lapangan banyak yakyat yang seharusnya mendapat bantuan malah tidak dapat, tetapi juga banyak rakyat yang sudah mampu justru mendapat bansos, dan itu terjadi secara massif, berlangsung terus saampai hari ini.

Maraknya PHK, sulitnya kondisi ekonomi, dan berbagai permasalahan terkait APD dan kurangnya tenaga medis jadi semacam trigger yang bikin jengah rakyat. Tak berhenti di situ, munculnya kebijakan new normal di tengah meningkatnya kurva pandemic Covid-19 membuat rakyat makin bingung dan jengkel. Berbagai kekhawatiran dan kesulitan hidup sebagai akibat dampak pandemi Covid-19 yang menimbulkan ketidakpastian  kian memberatkan kehidupan rakyat.

Senjata Politik

Beberapa peristiwa kemarahan ditunjukkan oleh para penguasa, misalnya Presiden Suharto pernah marah-marah kepada para menterinya. Yang juga fenomenal adalah kemarahan yang ditunjukkan oleh Basuki Cahaya Purnama (Ahok) saat menjadi Gubernur DKI,  Ahok menjadikan marah-marah di depan umum sebagai salah satu kekuatannya. Ahok, sang Gubernur DKI waktu itu, marah-marah di depan anggota-anggota DPRD atau memarahi pegawai-pegawai DKI.

Kebetulan yang menjadi sasaran Ahok adalah para politisi di DPRD dan para birokrat. Dua golongan ini, dalam persepsi masyarakat umum, adalah  DPRD sebagai pejabat publik karena korupnya, sedangkan pegawai pada birokrasinya, karena inkompetensi dan demennya makan uang semir alias korupsi juga.

Keberhasilan selalu membangkitkan epigon-epigon. Sejak saat itu, bila membaca berita dari daerah-daerah, kerap menjumpai bupati, walikota, atau gubernur yang marah-marah kepada bawahannya. Seperti kemarahan yang dilakukan oleh Walikota Surabaya, Tri Risma Harini, di banyak kesempatan, walikota yang pernah mendapatkan predikan sebagai walikota terbaik sedunia itu sering meluapkan kemarahannya kepada bawahannya. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, juga pernah marah-marah kepada bawahannya di jembatan timbang, dan tentu masih banyak lagi para pejabat yang melakukan tindakan serupa.

Kemarahan-kemarahan ini harus diluapkan di ruang publik, disiarkan, dimediakan supaya semua orang tahu. Pengumuman ini menjadi aspek penting dari kemarahan-kemarahan ini. Itulah juga sebabnya ia menjadi semacam senjata pamungkas bagi sang penguasa.

Patut diperhatikan publik adalah jangan sampai kemarahan presiden itu hanya terkesan sebagai sebuah sandiwara belaka. Memarahi tim kabinet dan dipertontonkan ke hadapan publik supaya mengesankan bahwa presiden memiliki empati dan simpati terhadap kondisi rakyat dan negara saat ini.

Sejak kemarahan Presiden Jokowi disiarkan ke media massa 18 Juni lalu, sampai hari ini rakyat menunggu gebrakan apa yang akan dilakukan oleh Jokowi dan juga para menterinya selanjutnya, apakah sekedar marah-marah untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa presiden benar-benar berpihak pada penderitaan rakyat, atau hanya sekedar pencitraan tanpa makna.

Kemudian yang lebih penting dan ditunggu-tunggu rakyat adalah bagaimana pemerintah melalui presiden, anggota kabinet, dan seluruh jajaran dibirokrasinya mampu memperikan perubahan signifikan terkait dengan berbagai penderitaan takyat yang masih saja menghadapi kesulitan hidup sebagai dampak pandeni Covid-19, yang entah sampai kapan akan berkahir. Bukan sekedar marah-marah bagai teatrikal yang tidak berdampak apa pun bagi rakyatnya.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, ternyata rakyat belum merasakan dampak dari aksi Presiden Jokowi memarahi para anggota kabinetnya, bahkan kembali marah karena masih banyak  kinerja menterinya yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Presiden

(Suryanto S Sos MSi staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM)  Semarang)

 

 

 

* Artikel ini telah dibaca 30 kali.
Kampusnesia
Media berbasis teknologi internet yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *