Home > EDITOR'S CHOICE > Mencermati Telegram Kapolri

Mencermati Telegram Kapolri

                                                               Oleh: Gunawan Witjaksana

Telegram Kapolri terkait peliputan media massa di lingkungan Polri dicabut dan hanya berumur sehari kebijakan itu tidak jadi berlakukan.

Telegram Kapolri kepada para Kapolda dan Kabid Humas jajaran Polda di antaranya berisikan meminta media untuk tidak melakukan peliputan tindakan Polisi yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Dalam telegram tersebut juga disarankan, media menampilkan tindakan Polisi yang tegas, namun humanis.

Telegram Kapolri yang akhirnya menuai kontroversi karena oleh banyak kalangan dianggap membatasi kebebasan pers dan tidak sesuai dengan UU No.40 tentang Pers tersebut pun akhirnya dicabut atau dibatalkan.

Mencermati hal tersebut, bagaimana pun asal mulanya hingga terbitnya telegram tersebut, kita tetap perlu mengapresiasi Kapolri.

Di era keterbukaan dan pesatnya kemajuan teknologi informasi, termasuk kebijakan open sky policy yang sudah dijalankan di Indonesia sejak era 80-an tersebut, tampaknya isi telegram Kapolri tersebut kurang tepat.  Maka, ketika dicabut, tidak ada kata lain selain mengapresiasinya, karena setidaknya menunjukkan kepekaan Kapolri terhadap berbagai macam masukan berbagai kalangan.

Pengalaman tersebut sekaligus mengingatkan pada seluruh pembuat kebijakan untuk berhati- hati ketika membuat kebijakan terkait media. Sebaiknya sebelum dituangkan perlu dilakukan pengkajian mendalam, utama terkait UU serta peraturan lain terkait media dan pers.

Di sisi lain, pihak media dan pers pun perlu cermat serta berhati- hati dalam melakukan peliputan serta penyiaran utamanya terkait dengan lembaga yang memilki kekhususan seperti Polri, yang berdasar UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi pun memang ada poin khusus yang dikecualikan.

Pertanyaannya bagaimana sebaiknya hubungan antara pembuat kebijakan perlu disinergikan, sehingga akan lebih fungsional?.

Teknologi, Kebebasan Dan Obyektivitas

Kemajuan teknologi informasi dengan segala ikutannya saat ini memang luar biasa. Siapapun yang memegang gawai seolah bisa menjadi wartawan dadakan, serta mampu meliput apa pun yang secara kebetulan mereka jumpai.

Sayangnya, sebagian besar mereka tidak memahami UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE, UU Keterbukaan Informasi, serta berbagai aturan ikutannya.

Dampaknya, banyak informasi baik yang tertulis atau pun audio visual besliweran dan sulit untuk dikontrol. UU ITE pun, tampaknya perlu disempurnakan dan itu masih dalam perancangan atau pun proses.

Media- media mainstream pun sering tampak susah berebut akses audience, karena memang informasi dan sajian lain yang tidak jelas itulah yang lebih menarik serta dipercaya audience.

Seolah tak mau kalah, media mainstream justru mengambil medsos untuk sajiannya. Contohnya tayangan trending topic, viral dan yang lainnya.

Keresahan itulah yang tampaknya menginspirasi Kapolri yang akhirnya mengirim telegram yang dibatalkan terebut.

Bebas Bertanggungjawab

Bila kita cermati, yang terbaik dilakukan media saat ini adalah menikmati kebebasan, namun tetap profesional, artinya bertanggungjawab terhadap berbagai sajiannya.

Aspek fit to expose (layak saji) perlu diutamakan, disesuaikan dengan berbagai koridor yang ada.

Informasi yang obyektif, setidaknya dikaitkan dengan pandangan Westersthall yang perlu didukung fakta, relevan dengan kondisi audience, netral serta berimbang dalam pemuatannya.

Itulah yang mungkin dimaksud Kapolri dengan tindakan yang tegas, namun humanis.

Akhirnya belajar dari telegram Kapolri yang dibatalkan, kedua pihak, baik media atau pun pembuat kebijakan perlu saling bersinergi. Selain itu, perkembangan teknologi informasi perlu ditindaklanjuti dengan UU serta peraturan yang menyebabkan para penggunanya perlu berhati hati.

Di sisi lain, literasi komunikasi dan media terhadap masyarakat perlu makin diperluas, sehingga pada saatnya, tanpa aturan yang ketatpun, masyarakat akan mampu memilih sajian media yang apik, menarik, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

* Artikel ini telah dibaca 104 kali.
Gunawan Witjaksana
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. Pengamat komunikasi dan media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *